BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam perspektif islam makna
belajar bukan hanya sekedar upaya perubahan perilaku. Konsep belajar dalam
islam merupakan konsep belajar yang ideal, karena sesuai dengan nilai-nilai
ajaran islam. Tujuan belajar dalam islam bukanlah mencari rezeki didunia ini
semata, tetapi untuk sampai kepada hakikat, memperkuat akhlak yang sempurna.
Dalam keseluruhan proses
pendidikan disekolah, termasuk pendidikan agama islam di sekolah-sekolah dan
madrasah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini berarti
bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan, banyak bergantung kepada
bagaimana proses belajar yang dialami oleh anak didik.[1] Menurut Hamalik belajar mengandung pengertian
terjadinya perubahan dari persepsi dan prilaku, termasuk juga perbaikan
prilaku, misalnya pemuasan kebutuhan masyarakat dan pribadi secara lengkap.[2]
Istilah strategi lebih luas pengertiannya dari metode atau tekhnik, dengan kata
lain di dalam strategi juga terkandung pengertian metode atau tekhnik, di mana
dalam strategi juga dibicarakan pendekatan pengajaran dalam penyampain
informasi, memilih sumber belajar, menunjang pengajaran, menetukan dan
menjelaskan peranan siswa.[3]
Dilihat dari segi
kepentingannya, pendidikan dapat dilihat dari dua bagian, pertama pendidikan
dari segi kepentingan individual, dan kedua pendidikan dari segi kepentingan
masyarakat. Dari segi kepentingan individual, pendidikan di samping harus
memperhatikan perbedaan bakat, kemampuan, kecenderungan dan lainnya yang dimiliki
anak, juga harus dapat membantu individu
dalam mengekspresikan dan mengaktualisasikan dirinya, sehingga dapat
menolongnya . Pendidikan agama islam bertujuan meningkatkan keimanan,
pemahaman, penghayatan, dan pengamalan peserta didik tentang ajaran islam sehingga
menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta
berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermsyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Pendidikan islam di sekolah bertujuan untuk meningkatkan keyakinan,
pemahaman, pengahyatan, dan pengalaman siswa tentang agama islam sehingga
menjadi manusia muslim yang beriman dan bertqwa kepada Allah SWT serta
berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, masyarakat, berbangsa dan bernegara
serta untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi.[4]
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana Pentingnya
pendekatan dalam pembelajaran.
2. Apa Jenis-jenis Pendekatan
dalam Pembelajaran
3. Apa Tipe-tipe Pendekatan
4. Bagaimana Implikasi Pendekatan Pembelajaran Dalam Praksis pembelajaran
5. Bagaimana Relevansi Metode
Dengan Bahan Pelajaran
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk mengetahui Pentingnya
pendekatan dalam pembelajaran.
2. Untuk mengetahui Jenis-jenis
Pendekatan dalam Pembelajaran
3. Untuk mengetahui Tipe-tipe Pendekatan
4. Untuk mengetahui Implikasi Pendekatan Pembelajaran Dalam Praksis pembelajaran
5. Untuk mengetahui Relevansi
Metode Dengan Bahan Pelajaran
D. Metode
Penulisan
Adapun metode penulisan yang
penulis gunakan dalam makalah ini adalah metode library research. yang mana
penulis menggunakan buku-buku dari perpustakaan sebagai bahan referensi dimana
penulis mencari literatur yang sesuai dengan materi yang di kupas dalam makalah
ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pentingnya
pendekatan dalam pembelajaran.
Di lihat dari segi
kepentingannya, pendidikaan dapat dilihat dari dua bagian. Pertama pendidikan
dari segi kepentingan individual, kedua pendidikan dari segi kepentingan
masyarakat. Dari segi kepentingan individual, pendidikan di samping harus
memerhatikan perbedaan bakat, kemampuaan, kecenderungan dan lainnya yang
dimiliki anak didik, juga harus dapat membantu individu dalam mengexpresikan
dan mengaktualisasikan dirinya, sehingga dapat menolongnya dikemudian
hari.Dengan pendekatan yang bersifat individualistis ini, pendidikan hanya
befungsi menciptakan kondisi dan situasi yang memungkinkan bebagai potensi
pesreta didik yang berbeda-beda itu dapat diwujudkan dalam kenyataan. Paradigma
pendikan yang digunakan bukanlah mengisi air ke dalam gelas, melainkan
memotivasi dan menginspirasi agar berbagai potensi yang dimiliki peserta didik
itu dapat diexplorasi dengan upayanya sendiri. Paradigma pendidikan yang demikiaan itu, menempatkan guru sebagai
“seorang bidan” yang membantu melhirkan seorang ibu hamil. Guru hanya membantu
peserta didik agar dapat mengaktualisasikan potensi yang di milikinya.
Dengan cara demikian, maka
guru bukan sebagai informan (pemberi informasi), melainkan sebagai agent yang
menggerakan terjadinya proses pembelajaran pada anak didik, sehingga ank didik
mau belajar denga giat dan sungguh-sungguh, melahirkan gagasn, pemikiran, dan
sebagainya dengan aktivitasnya sendiri. Keadaan ini pada tahap selanjutnya
menempatkan guru sebagai motivator, katalisator, inspirator, imaginator,
fasilitator, dan seterusnya. Paradigma guru dalam konteks kegiatan pembelajaran
yang demikian itu telah menjadi salah satu pilihan yang banyak diterapkan pada
negara yang mengandung sistem pemerintahan yang demokratis termasuk di
indonesia.
Paradigma pendidikan yang
bersifat individualistis ini memiliki landasan dan akar konseptual pada teori
psikologi yang beraliran nativisme, humanisme, dan liberalisme. yaitu sebagai
teori psikologi yang mengatakan bahwa setip manusia memilik bakat, kecenderungan
dan lain sebagainya yang berasal dari dirinya sendiri, dan oleh karena itu
mereka harus diberikan kebebasan sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan dan paksaan
dari luar. Konsep pendidikan yang individualistis ini misalnya, dapat
dikembalikan kepada socrates, jogh dewey, ivan illich, dan lain-lain. Konsep
pendidikan ini juga berakar pada pandangan tentang tidak adanya nilai moral
universal. Nilai-nilai moral seluruhnya bersifat positifistik dan
anthropocentris. Yakni bergantung kepada ukuran dan parameter yang dietentukan
oleh masing-masing individu. Dengan demikiaan, nilai moral menjadi sesuatu yang
bersifat relatif dan personal. Keaadan ini pada gilirannya membawa pada
keaadaan tidak adanya hukum universal yang dapat digunakan oleh seluruh umat
manusia.
Adapun pendidikan yang
dilihat dari segi kepentingan masyarakat adalah pendidikan yang lebih merupakan
media atau sarana yang berfungsi menyalurkan gagasan, pemikiran, nilai-nilai
budaya, agama, sistem politik, ilmu pengetahuaan, dan lain sebagginya yang sudah
diakui oleh masyarakat dan negara. Dengan demikian, kepentingan masyarakat dan
negara sangat menentukan dlam mengarahkan kegiatan pendidikan.
Pendidikan yang demikiaan
itu, pada gilirannya menempatkan guru sebagai satu-satunya yang memiliki
otoritas untuk menentukan corak dan warna pendidikan. Dan dalam waktu yang
bersamaan, peserta didik ditempatkan sebagai objek yang sepenuhnya mengikuti
kehendak guru. peserta didik tidak memiliki pilihan lain. Kecuali harus
mengikuti agenda pendidikan dan pengajaran yang telah disiapkan pemerintah dan
masyarakat. Dengan paradigma yang demikiaan itu, maka paradigma guru menjadi
satu-satunya agent of information atau agent of knowledgel. Hal ini pada
gilirannya membawa konsep pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher
centris). Guru memberikan sejumlah pengetahuan ajaran dan lainnya yang harus
dihapal dan dikuasai dengan baik oleh peserta didik, tanpa ada peluang bagi
mereka untuk mempertanyakan urgensitas dan relevansitas yang diajarkan oleh
guru tersebut. Dengan paaradigma ini, maka guru yang menjadi aktif, sedangkan
murid menjadi pasif. Pardigma pendididik yang digunakan dalam konteks ini
adalah “ mengisi air kedalam gelas” atau “ menuangkan ilmu pengetahuaan,
keterampilan, dan sebagainya, kkedalam otak peserta didik.”
Dengan pendekatan yang
demikiaan, maka pendidikan dengan berbagai komponennya: Visi, misi, tujuan,
kurikulum, proses belajar, guru, murid, manajemen, sarana prasarana,
lingkungan,keuangan, alat dan sumber belajar, evlauasi dan lainnya di tentukan
dari atas atau pusat, yaitu di tentukan oleh mereka yang memiliki otorits
sebagai pengambil kebijakan. Pendidikan yang bercorak sentrlistis ini dianggap
kurang memberikan kemungkinan pada pesrta didik untuk berkreasi, berinovasi,
berimajinasi dan lain sebagainya.
Corak pendidikan demikian itu
didasarkan pada sebuah asumsi tentang adanya moral universal, yaitu nilai-nilai
moral yang dianggap permanen, telah teruji dalam sejarah, bersifat abadi, dan
karenanya perlu dilestarikan dan ditanamkan pada peserta didik tanpa syarat.
Konsep pendidikan sedemikian itu, banayak digunaka pada negara berkembang yang
menganut sistem pemerintahan yang otoriter dan sentralistis.Adanya dua aliran
kepentingan pendidikan sebagaimana pendidikan tersebut, pada gilirannya membawa
kepada timbulanya aliran pendidikan yang ketiga, yaitu konsep pendidikan yang
mencoba menghubungkan antara kepentingan individual dan masyarakat. Konsep yang
memadukan kepentingan idividual dan masyarakat ini didasarkan pada sebuah
asumsi, bahwa selain memiliki kebebasan individual, manusia juga dibatasi oleh
kebebasan sosial. Selain makhluk individual yang merupakn hak privasinya,
manusia juga makhluk sosial. Selain mementingkan kebutuhan individualnya,
manusia juga harus mementingkan kebutuhan sosialnya.[5]
B. Jenis-jenis
Pendekatandalam Pembelajaran
1. Pendekatan Individualistic
Pendekatan individualistic dalam proses
pembelajaran, adalah sebuah pendekatan yang bertolak pada asumsi bahwa peserta
didik memiliki latar belakang perbedaan dari segi kecerdasan, bakat,
kecenderungan, motivasi, dan sebagainya. Perbedaan individualistis peserta
didik tersebut memberikan wawasan kepada guru bahwa strategi pembelajaran harus
memerhatikan perbedaan peserta didik pada aspek individual ini. Dengan kata
lain, guru harus melakukan pendekatan individual dalam strategi belajar
mengajarnya. Bila hal ini tidak dilakukan, makastrategi belajar tuntas (mastery
learning) yang menuntut penguasaan penuh kepada peserta didik tidak pernah
menjadi kenyataan. Dengan pendekatan individual ini kepada peserta didik dapat
diharapkan memiliki tingkat penguasaan materi yang optimal.
Pendekatan belajar individualistis ini berguna
untuk mengatasi peserta didik yang suka benyak bicara atau membuat keributan
dalam kelas. Caranya antara lain dengan memindahkan salah satu peserta didik
tersebut pada tempat yang terpisah dengan jarak yang cukuup jauh dengan peserta
didik lainnya. Peserta didik yang suka berbicara ditempatkan pada anak didik
yang pendiam.[6]
Melalui pendekatan ini, kesulitan peserta didik
dalam belajar segera dapat dipecahkan. Pendekatan individualistic juga adalah
pendekatan uang demokratis, karena memperlakukan setiap peserta didik sesuai
dengan keinginannya. Dan dengan pendekatan ini, penghargaan terhadap kecakapan
peserta didik yang berbeda-beda dapat dilakukan. Bagi peserta didik yang mau
belajar sungguh-sungguh dan cerdas, memiliki kesempatan dan peluang untuk
belajar lebih cepat. Sebaliknya, peserta didik yang kurang cerdas dan kurang
sungguh-sungguh dapat menyelesaikan pelajarannya sesuai dengan kesanggupannya.
Namun demikian, pendekatan ini selain memiliki
manfaat dan keuntungan, juga tidak terlepas dari kekurangan. Pendekatan
individualistis mengharuskan seorang guru memberikan perlakuan yang
berbeda-beda pada setiap peserta didik. Keadaan ini amat menyulitkan, jika
jumlah peserta didiknya cukup banyak, karena akan memakan waktu yang cukup
banyak pula, dan karenanya kurang efisien. Selain itu, pendekatan ini juga
mengharuskan adanya desain kelas yang kecil-kecil (small class) yang
jumlahnya cukup banyak. kelas kecil yang jumlahnya cukup banyak ini tidak dapat
ditangani hanya oleh satu orang guru, melainkan oleh sebuah team teacher. Pendekatan
ini menyebabkan peserta didik kurang memiliki kesempatan untuk bersosialisasi,
dan pada gilirannya dapat menimbulkan sikap individualistis pada peserta didik.
2. Pendekatan Kelompok
Pendekatan kelompok adalah sebuah pendekatan
yang didasarkan pada pandangan, bahwa pada setiap peserta didik terdapat
perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan antara satu dan lainnya. perbedaan
yang peserta didik yang satu dengan yang lainnya ini, bukanlah untuk
dipertentangkan atau dipisahkan, melainkan harus diintegrasikan. Seorang
peserta didik yang cerdas misalnya, dapat disatukan dengan peserta didik yang
kurang cerdas, sehingga peserta didik yang kurang cerdas itu dapat ditolong
oleh peserta didik yang cerdas. Demikian pula, persamaan yang dimiliki antara
peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lainnya dapat disinergikan
sehingga dapat saling menunjang secara optimal.
Selain itu, pendekatan kelompok ini juga
didasarkan pada asumsi, bahwa setiap anak didik memiliki kecenderungan untuk
berteman dan berkelompok dalam rangka memperoleh pengalaman hidup dan
bersosialisasi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan pendekatan kelompok
ini, diharapkan dapat ditumbuhkan rasa sosial yang tinggi pada setiap peserta
didik, dan sekaligus untuk mengendalikan rasa egoism yang ada dalam diri mereka
masing-masing, sehingga terbina sikap kesetiakawanan sosial di dalam kelas.
Dengan
pendekatan kelompok ini, mereka diharapkan memiliki kesadaran bahwa hidup ini
ternyata hidup ini saling membutuhkan dan saling tergantung antara satu dengan
yang lainnya. tidak ada makhluk hidup yang terus menerus dapat mencukupi
dirinya tanpa bantuan orang lain.
Sehubungan dengan penggunaan pendekatan
kelompok sebagaimana tersebut di atas, terdapat sejumlah factor yang perlu
dipertimbangkan, seperti factor tujuan, peralatan dan sumber belajar, metode
yang akan dipergunakan, lingkungan tempat belajar, serta keadaan peserta didik
itu sendiri. Dengan demikian, penggunaan pendekatan kelompok ini tidak dapat
dilakukan secara sembrono atau tanpa perhitungan yang matang.[7]
3. Pendekatan Campuran
Pada bagian terdahulu telah dikemukakan, bahwa
seorang anak didik di samping memiliki latar belakang perbedaan secara
individual, juga memiliki persamaan sebagai makhluk yang berkelompok. Dengan
demikian, setiappeserta didik sesungguhnya dapat didekati secara individual dan
kelompok. Pada bagian terdahulu juga sudah dikemukakan, bahwa pada pendekatan
individual dan kelompok masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
Keadaan sebagaimana tersebut di atas, member
petunjuk tentang kemungkinan dapat dilakukan pendekatan yang ketiga, yaitu
pendekatan campuran, yaitu sebuah pendekatan yang bertumpu pada upaya
menyinergikan keunggulan yang terdapat pada pendekatan individual dan
keunggulan yang terdapat pada pendekatan kelompok. Namun dalam praktiknya,
pendekatan campuran ini akan jauh lebih banyak masalahnya dibandingkan dengan
dua pendekatan sebagaimana tersebut di atas. Ketika guru dihadapkan kepada
permasalahan peserta didik yang bermasalah, maka guru akan berhadapan dengan
permaslahan peserta didikyang bervariasi. Setiap masalah yang dihadapi peserta
didik tidak selalu sama, terkadang ada perbedaan.
Uraian
tersebut di atas telah menjelaskan, bahwa setiap peserta didik memiliki
motivasi yang berbeda-beda dalam belajar.dari atu sisi terdapat peserta didik
yang memiliki motivasi yang tinggi untuk belajar, namun pada sisi lain terdapat
peserta didik yang motivsi belajarnya sedang-sedang saja, atau rendah. Keadaan
ini swlanjutnya menimbulkan keadaan peserta didik yang satu bergairah dalam
dalam belajar, sedangkan peserta didik yang lainnya biasa-biasa saja, bahkan
tidak bergairah sama sekali, dan tidak mau ikut belajar. Ia malah asyik
bersenda gurau, bermain-main, atau melakukan pekerjaan yang tidak ada
hubungannya dengan kegiatan belajar. Mereka duduk dan berbicara,
berbincang-bincang satu sama lain tentang hal-hal yang terlepas dari masalah
pelajaran.[8]
4.
Pendekatan Edukatif
Apapun yang guru
lakukan dalam pendidikan dan pengajaran dengan tujuan untuk mendidik, bukan
karena motif-motif1ain, seperti dendam, gengsi, ingin ditakuti, dan
sebagainya.Anak didik yang telah melakukan kesalahan, yakni membuat keributan
di kelas ketika guru sedang memberikan pelajaran, misalnya, tidak tepat
diberikan sanksi hukum dengan cara memukul badannya hingga luka atau cidera.
Ini adalah tindakan sanksi hukum yang tidak bernilai pendidikan. Guru telah
melakukan pendekatan yang salah. Guru telah menggunakan teori power, yakni
teori kekuasaan untuk menundukkan orang lain. Dalam pendidikan, guru akan
kurang arif dan bijaksana bila menggunakan kekuasaan, karena hal itu bisa
merugikan pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak didik. Pendekatan yang
benar bagi guru adalah dengan melakukan pendekatan edukatif. Setiap tindakan,
sikap, dan perbuatan yang guru lakukan harus bernilai pendidikan, dengan tujuan
untuk mendidik anak didik agar menghargai norma hukum, norma susila, norma
moral, noram sosial, dan norma agama.
Cukup banyak sikap dan perbuatan yang harus guru
lakukan untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada anak didik. Salah satu
contohnya, misalnya, ketika lonceng tanda masuk kelas telah berbunyi, anak-anak
jangan dibiarkan masuk dulu, tetapi suruhlah mereka bebaris di depan pintu
masuk dan perintahkanlah ketua kelas untuk mengatur barisan. Semua anak
perempuan berbaris dalam kelompok jenisnya. Demikian juga semua anak laki-laki,
berbaris dalam kelompok sejenisnya. Jadi, barisan dibentuk menjadi dua dengan
pandangan terarah ke pintu masuk. Di sisi pintu masuk guru berdiri sambi!
mengontrol bagaimana anak-anak berbaris di depan pintu masuk kelas. Semua anak
dipersilakan masuk oleh ketua kelas. Mereka pun satu per satu masuk kelas,
mereka satu per satu menyalami guru dan mencium tangan guru sebelum dilepas.
Akhirnya, semua anak masuk dan pelajaran pun dimulai.
Contoh di atas menggambarkan pendekatan edukatif yang
telah dilakukan oleh guru dengan menyuruh anak didik berbaris di depan pintu
masuk kelas. Guru telah meletakkan tujuan untuk membina watak anak didik dengan
pendidikan akhlak yang mulia. Guru telah membimbing anak didik, bagaimana cara
memimpin kawan-kawannya dan anak-anak lainnya, membina bagaimana cara
menghargai orang lain dengan cara mematuhi semua perintahnya yang bernilai
kebaikan. Betapa baiknya jika semua sekolah (TK, SO atau SLTP) melakukan hal
yang demikian itu. Mungkin kewibawaan guru yang dirasakan mulai memudar
sekarang ini dapat dimunculkan kembali dan tetap melekat pada pribadi guru.
Sekaranglah saatnya mengedepankan pendidikan kepribadian kepada anak didik dan
jangan hanya pendidikan intelektual serta keterampilan semata, karena akan
menyebabkan anak tumbuh sebagai seorang intelektual atau ilmuwan yang
berpribadi kering.
Guru yang hanya mengajar di kelas, belum dapat
menjamin terbentuknya kepribadian anak didik yang berakhlak mulia. Demikian
juga halnya dengan guru yang mengambil jarak dengan anak didik. Kerawanan
hubungan guru dengan anak didik disebabkan komunikasi antara guru dengan anak
didik kurang berjalan harmonis. Kerawanan hubungan ini menjadi kendala bagi
guru untuk melakukan pendekatan edukatif kepada anak didik yang bermasalah.
Guru yang jarang bergaul dengan anak didik dan tidak
mau tahu dengan masalah yang dirasakan anak didik, membuat anak didik apatis
dan tertutup atas apa yang dirasakannya. Sikap guru yang demikian kurang
dibenarkan dalam pendidikan, karena menyebabkan anak didik menjadi orang yang
introver (tertutup).
Kasuistis yang terjadi di sekolah biasanya tidak hanya
satu, tetapi bermacam-macam jenis dan tingkat kesukarannya. Hal ini menghendaki
pendekatan yang tepat. Berbagai kasus yang terjadi, selain ada yang dapat
didekati dengan pendekatan individual,adajuga yang dapat didekati dengan
pendekatan kelompok, dan ada pula yang dapat didekati dengan pendekatan
bervariasi. Namun yang penting untuk diingat adalah bahwa pendekatan individual
harus berdampingan dengan pendekatan edukatif; pendekatan kelompok harus
berdampingan dengan pendekatan edukatif, dan pendekatan bervariasi harus berdampingan
dengan pendekatan edukatif. Dengan demikian, semua pendekatan yang dilakukan
guru harus bemilai edukatif, dengan tujuan untuk mendidik. Tindakan guru karena
dendam, marah, kesal, benci, dan sejenisnyabukanlah termasuk perbuatan
mendidik, karena apa yang guru lakukan itu menurutkan kata hati atau untuk
memuaskan hati.
Selain berbagai pendekatan yang disebutkan di depan,
ada lagi pendekatan-pendekatan lain. Berdasarakan kurikulum atau Garis-garis
Besar Program Pengajaran (GBPP) Pendidikan Agama Islam SLTP Tahun 1994
disebutkan lima macampendekatan untuk pendidikan agama Islam, yaitu pendekatan
pengalaman, pendekatan pembiasaan, pendekatan emosional, pendekatan rasional,
dan pendekatan fungsional. Kelima macam pendekatan ini diajukan, karena pendidikan
agama Islam di sekolah umum dilaksanakan melalui kegiatan intra dan ekstra
kurikuler yang satu sama lainnya saling menunjang dan saling melengkapi. Kelima
pendekatan tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1.
Pendekatan Pengalaman
Experience is the best
teacher, pengalaman adalah guru yang terbaik. Pengalaman adalah guru bisu yang
tidak pernah marah. Pengalaman adalah guru yang tanpa jiwa, namun selalu dicari
oleh siapa punjuga. Belajar dari pengalaman adalah lebih baik daripada sekadar
bicara, dan tidak pemah berbuat sama sekali. Belajar adalah kenyataan yang
ditunjukkan dengan kegiatan fisiko Karena itu, the proses of learning is doing,
reacting, undergoing, experiencing. The products of learning are all achieved
by the learner through his own activity. (H.C. Witherington dan W.H. Burton,
1986: 57).
Meskipun pengalaman
diperlukan dan selalu dicari selama hidup, namun tidak semua pengalaman tidak
bersifat mendidik (edukative ex perience), karena ada pengalaman yang tidak
bersifat mendidik (misedukative experience). Suatu pengalaman dikatakan tidak
mendidik, jika guru tidak membawa anak ke arah tujuan pendidikan, akan tetapi
menyelewengkan dari tujuan itu, misalnya "mendidik anak menjadi
pencopet." Karena itu, ciri-ciri pengalaman yang edukatif adalah berpusat
pada suatu tujuan yang berarti bagi anak (meaningful), kontinu dengan kehidupan
anak, interaktif dengan lingkungan, dan menambah integrasi anak. Demikianlah
pendapat Witherington.
2.
Pendekatan Pembiasaan
Pembiasaan adalah alat
pendidikan. Bagi anak yang masih kecil, pembiasaan ini sangat penting. Karena
denganpembiasaan itulahakhimya suatu aktivitas akan menjadi milik anak di
kemudian hari. Pembiasaan yang baik akan membentuk suatu sosok manusia yang
berkepribadian yang baik pula. Sebaliknya, pembiasaan yang buruk akan membentuk
sosok manusia yang berkepribadian yang buruk pula. Begitulah biasanya yang
terlihat dan yang terjadi pada diri seseorang. Karenanya, di dalam kehidupan
bermasyarakat,kedua kepribadian yang bertentanganini selalu ada dan tidak
jarang terjadi konflik di antara mereka.
Anak kecil tidak
seperti orang dewasa yang dapat berpikir abstrak. Anak kecil hanya dapat
berpikir konkret Kata-kata seperti kebijaksanaan, keadilan, dan
perumpamaan,adalah contoh kata benda abstrakyang sukar dipikirkanoleh anak.
Anak kecil belum kuat ingatannya,ia lekasmelupakan apa yang sudah dan baru
terjadi. Perhatian mereka lekas dan mudah beralih kepada hal-hal yang baru,
yang lain, yang disukainya.
3.
Pendekatan Emosional
Emosi adalah gejala
kejiwaan yang ada di dalam diri seseorang. Emosi berhubungan dengan masalah
perasaan. Seseorang yang mempunyai perasaan pasti dapat merasakan sesuatu, baik
perasaan jasmaniah maupun perasaan rohaniah. Perasaan rohaniah di dalamnya ada
perasaan intelektual, perasaan estetis, perasaan etis, perasaan sosial, dan
perasaan harga diri. Menurut Chalijah Hasan merasa adalah aktualisasi kerja
dari hati sebagai materi dalam struktur tubuh manusia, dan merasa sebagai
aktivitas kejiwaan ini adalah suatu pemyataan jiwa yang bersifat subjektif. Hal
ini dilakukan dengan mengemukakan suatu kesan senang atau tidak senang, dan
umumnya tidak tergantung pada pengamatan yang dilakukan oleh indra.
Perasaan, menurut Abu
Ahmadi dan Widodo Supriyono sebagai fungsi jiwa untuk dapat mempertimbangkan
dan mengukur sesuatu menurut "rasa senang dan tidak senang",
mempunyai sifat-sifat senang dan sedih/tidak senang, kuat dan lemah, lama dan
sebentar, relatif, dan tidak berdiri sendiri sebagai pernyataan jiwa.
4.
Pendekatan Rasional
Manusia adalah makhluk
yang diciptakan oleh sang Maha Pencipta, yaitu Allah swt. Manusia adalah
makhluk yang sempuma diciptakan. Manusia berbeda dengan makhluk lainnya yang
diciptakan oleh Tuhan. Perbedaannya terletak pada akal Manusia mempunyai akal,
sedangkan makhluk lainnya seperti binatang dan sejenisnya tidak mempunyai akal.
Jadi, hanya manusialah yang dapat berpikir, sedangkan makhluk lainnya tidak
mampu berpikir.
Dengan kekuatan akalnya
manusia dapat membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang
buruk, mana kebenaran dan mana kedustaan dari sesuatu ajaran atau perbuatan.
Dengan akal pula dapat membuktikan dan membenarkan adanya Tuhan Yang Maha
Kuasa, Maha Pencipta atas segala sesuatu di dunia ini. Walaupun disadari
keterbatasan akal untuk memikirkan dan memecahkan sesuatu, tetapi diyakini pula
bahwa dengan akal dapat dicapai ketinggian ilmu pengetahuan dan penghasilan
teknologi modern. Itulah sebabnya manusia dikatakan sebagai homo sapien,
semacam makhluk yang berkecenderungan untuk berpikir.
5.
Pendekatan Fungsional
Ilmu pengetahuan yang
dipelajari oleh anak di sekolah bukanlah hanya sekadar pengisi otak, tetapi
diharapkan berguna bagi kehidupan anak, baik sebagai individu maupun sebagai
makhluk sosia!. Anak dapat memanfaatkan ilmunya untuk kehidupan sehari-hari
sesuai dengan tingkat perkembangannya. Bahkan yang lebih penting adalah ilmu
pengetahuan dapat membentuk kepribadian anak. Anak dapat merasakan manfaat dari
ilmu yang didapatnya di sekolah. Anak mendayagunakan nilai guna dari suatu ilmu
sudah fungsional di dalam diri anak.
Pelajaran agama yang diberikan
di kelas bukan hanya untuk memberantas kebodohan dan pengisi kekosongan
intelektual, tetapi untuk diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Hal
yangdemikian itulah yang pada akhimya hendak dicapai oleh tujuan pendidikan
agama di sekolah dalam berbagaijenis dan tingkatan. Karena itu, kurikulum pun
disusun sesuai dengan kebutuhan siswa di masyarakat.
6.
Pendekatan Keagamaan
Pendidikan dan
pelajaran di sekolah tidak hanya memberikan satu atau dua macam mata pelajaran,
tetapi terdiri dari banyak mata pelajaran. Semua mata pelajaran itu pada
umumnya dapat dibagi menjadi mala pe/ajaran umum dan mala pelajaran agama
Berbagai pendekatan dalam pembahasan terdahulu dapat digunakan untuk keduajenis
mata pelajaran ini. Tentu saja penggunaannya tidak sembarangan, tetapi harus
disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang dicapai. Dalam praktiknya tidak
hanya digunakan satu, tetapi bisa juga penggabungan dua atau lebih pendekatan.
Khususnya untuk mata
pelajaran umum, sangat berkepentingan dengan pendekatan keagamaan. Hal lni
dimaksudkan agar nilai budaya ilmu itu tidak sekuler, tetapi menyatu dengan
nilai agama. Dengan penerapan prinsip-prinsip mengajar seperti prinsip korelasi
dan sosialisasi, guru dapat menyisipkan pesan-pesan keagamaan untuk semua mata
pelajaran umum. Tentu saja guru harus menguasai ajaran-ajaran agama yang sesuai
dengan mata pelajaran yang dipegang. Mata pelajaran biologi, misalnya, bukan
terpisah dari masalah agama, tetapi ada hubungannya. Cukup banyak dalil agama
yang membahas masalah biologi. Persoalannya sekarang terletak, mau atau
tidaknya guru mata pelajaran tersebut mencari dan menggali dalil-dalil dimaksud
dan menafsirkannya guna mendukung penggunaan pendekatan keagamaan dalam
pendidikan dan pengajaran. Surah Yaasiin, ayat 34, dan ayat 36, adalah bukti
nyata bahwa pelajaran biologi tidak bisa dipisahkan dari ajaran agama. Surah
Yaasiin ayat 37, 38,39, dan 40 adalah dalil-dalil nyata pendukung pendekatan
keagamaan dalam mata pelajaran fisika.
Akhirnya, pendekatan
agama dapat membantu guru untuk memperkecil kerdilnya jiwa agama di dalam diri
siswa, yang pada akhirnya nilai-nilai agama tidak dicemoohkan dan dilecehkan,
tetapi diya kini, dipahami, dihayati, dan diamalkan selama hayat siswa di
kandung badan.
7.
Pendekatan Kebermaknaan
Bahasa adalah alat
untuk menyampaikan dan memahami gagasan pikiran, pendapat, dan perasaan, secara
lisan maupun tulisan. Bahasa Inggris adalah bahasa asing pertama di Indonesia
yang dianggap penting untuk tujuan penyerapan dan pengembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, seni budaya, dan pembinaan hubungan dengan
bangsa-bangsa lain di dunia.
Dalam rangka penguasaan
bahasa Ingrris tidak bisa mengabaikan masalah pendekatan yang harus digunakan
dalam proses belajar mengajar. Kegagalan penguasaan bahasa Inggris oleh siswa,
salah satu sebabnya adalah kurang tepatnya pendekatan yang digunakan oleh guru
selain faktor lain seperti faktor sejarah, fasilitas, dan lingkungan serta
kompetensi guru itu sendiri. Kegagalan pengajaran tersebut tentu saja tidak
boleh dibiarkan begitu saja, karena akan menjadi masalah bagi siswa dalam
setiap jenjang pendidikan yang dimasukinya. Karenanya perlu dipecahkan. Salah
satu alternatif ke arah pemecahan masalah tersebut diajukanlah pendekatan baru,
yaitu pendekatan kebermaknaan. Beberapa konsep penting yang menyadari
pendekatan ini diuraikan sebagai berikut:
a)
Bahasa merupakan alat untuk mengungkapkan makna yang
diwujudkan malalui struktur (tata bahasa dan kosa kata). Dengan demikian,
struktur berperan sebagai alat pengungkapan makna (gagasan, pikiran, pendapat,
dan perasaan).
b)
Makna ditentukan oleh lingkup kebahasaan maupun
lingkup situasi yang merupakan konsep dasar dalam pendekatan kebermaknaan
pengajaran bahasa yang natural, didukung oleh pemahaman lintas budaya.
c)
Makna dapat diwujudkan melalui kalimat yang berbeda,
baik secara lisan maupun tertulis. Suatu kalimatdapat mempunyai makna yang
berbeda tergantung pad a situasi saat kalimat itu digunakan. Jadi keragaman
ujaran diakui keberadaannya dalam bentuk bahasa lisan atau tertulis.
d)
Belajar bahasa asing adalah belajar berkomunikasi
melalui bahasa tersebut, sebagai bahasa sasaran, baik secara lisan maupun
tertulis. Belajar berkomunikasi ini perlu didukung oleh pembelajaran unsur
unsur bahasa sasaran.
e)
Motivasi belajar siswa merupakan faktor utama yang
menentukan keberhasilan belajamya. Kadar motivasi ini banyak ditentukan oleh
kadar kebermaknaan bahan pelajaran dan kegiatan pembelajaran memiliki siswa
yang bersangkutan. Dengan kata lain, kebermaknaan bahan pelajaran dan kegiatan
pembelajaran memiliki peranan yang amat penting dalam keberhasilan belajar
siswa.
f)
Bahan pelajaran dan kegiatan pembelajaran menjadi
lebih bermakna bagi siswajika berhubungan dengan pengalaman, minat, tata nilai,
dan masa depannya. Karena itu, pengalaman siswa dalam lingkungan, minat, tata
nilai, dan masa depannya harus dijadikan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan pengajaran dan pembelajaran untuk membuat pelajaran lebih bermakna
bagi siswa.
g)
Dalam proses belajar-mengajar, siswa merupakan subjek
utama, tidak hanya sebagai objek belaka. Karena itu, ciri-ciri dan kebutuhan
mereka harus dipertimbangkan dalam segala keputusan yang terkait dengan
pengajaran.
h)
Dalam proses belajar-mengajar guru berperan sebagai
fasilitatoryang membantu siswa mengembangkan keterampilan berbahasanya.[9]
E. Relevansi
Metode dengan Bahan Pelajaran
Dalam proses belajar mengajar, seorang guru
harus menyampaikan atau mengajarkan sesuatu bahan pada murid. Bahan (subject
metter) itu biasanya meliputi pengetahuan, keterampilan sikap dan norma atau
nilai-nilai yang diharapkan dimiliki dan diamalkan. Pada sebagian madrasah,
terutama pada masa silam bahkan juga sampai sekarang, kurikulum masih dalam
bentuk subject metter dan sementara itu dikalangan guru masih terdapat
pandangan yang berbeda terhadap kurikulum semacam itu. Ada yang berpendapat
bahwa bahan pelajaran itu mengandung nilai-nilai instrinsik dan harus
dipelajari untuk kepentingan nilai itu sendiri. Sebagian lagi beranggapan bahwa
bahan pelajaran itu diajarkan untuk dimanfaatkan atau dengan kata lain nilainya
tergantung pada penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Pihak lain
beranggapan bahwa bahan pelajaran itu adalah sebagai alat saja untuk
menegambangkan kemampuan intelektual, keterampilan, norma dan sikap.
Perbedaan pandangan tersebut diatas sebenarnya
tidak perlu terjadi kalau kita memeperhatikan tujuan sekolah atau madrasah pada
umumnya. Madrasah bertujuan untuk membentuk pribadi muslim dengan
memperlengkapi siswa berbagai pengetahuan termasuk pengetahuan agama, dan
keterampilan-keterampilan. Jelaslah bahwa pelajaran itu adalah sebagai alat
yang sangat penting, yaitu alat untuk mencapai tujuan; alat yang digunakan oleh
guru dan murid untuk tujuan yang suci yaitu membentuk pribadi yang muslim. Hal
itu dapat dicapai bila bahan pelajaran yang dipelajari disajikan dengan cara
yang wajar dengan memperhatikan juga faktor murid dan situasi. Bahan dipelajari
secara wajar bila murid mengolah bahan itu melalui proses penemuan berpikir
kreatif, kerjasama dan merealisasi kemampuan diri sendiri.
Bahan pelajaran agama tidak diragukan lagi
penuh mengandung nilai-nilai bagi pembentukan pribadi muslim tetapi kalau dibiarkan
dengan cara yang kurang wajar misalnya anak diseruh menghafal secara mekanis
apa yang disampaikan oleh guru atau yang terdapat didalam buku-buku pelajaran,
tidak mustahil akan timbul pada diri anak murid ras tidak senang pada pelajaran
agama dan mungkin juga tidak senang dengan guru agamnya. Oleh karena bahan yang
akan dipelajari mempunyai sifat yang berbeda satu dengan yang lainnya,maka
untuk setiap jenis bahan memerlukan jenis belajar sendiri. Pada uumnya dikenal
jenis bahan dan jenis belajar yang sesuai dengannya seperti tersebut dibawah
ini.
1. Bahan yang memerlukan
pengamatan
Pengetahuan yang dimiliki
oleh anak umumnya diperoleh melelui alat indra atau melalui pengamatan baik
langsung maupun tidak langsung. Alat indra dalam hal ini memegang peranan yang
penting, ketidak sempurnaan atau ketidak pekaan suatu alat indra akan menyebabkan
pengamaatan tidak sempurna dan hasil belaja menjadi berkurang.Dengan mendengar
uraian guru (jadi pengamatan melalui indra pendengar) murid dapat mengetahui
hal-hal yang berhubungan dengan shalat jumat. Begitu juga dengan melalui
membaca (pengamatan melalui indra penglihat), melihat orang sembahyang Jum’at
atau melihat fil tentang orang shalat jum’aht anak memperoleh pengetahuan shlat
jum’aht. Dari contoh tersebut diatas jelas bahwa metode yang relevan untuk
bahan tersebut adalah metode ceramah, atau metode resitasi atau metode proyek
(dalam hal ini proyek tentang shlat jum’at). Yang ditekankan pada bahan
tersebut adalah segi pengetahuannya edang unuk keterampilan melakukn shlat
Jum’at termauk Khhatib memerlukn jenis belajar yang lain dn metode yang lain
pula.
2. Bahan yang memerlukan
keterampilan atau gerakan tertentu
Untuk menguasi bahan sejenis
ini seseorang terutama harus belajar secara motoris (motor type of learning).
Mungkin jenis belajar melalui pengamatan perlu juga tetapi tidak sepenting
belajar motoris.Contoh : bahan pelajaran membaca Al-Quran dengan baik.
Dalam hal ini juga diperlukan
belajar motoris yaitu menguasai keterampilan-keterampilan dalam hal hgerakan
mulut dan lidah, pengaturan pernahfasan dan suara. Metode yangrelevan untuk
bahan-bahan tersebut dalah metode demonstrasi dan dril.
3. Bahanyang mengandung materi
hafalan.
Bahan pelajaran agama jenis ini termasuk cukup
banyak hdan segera harus diketahui hdan dihafalkan karena akan digunkan hdalam
beribadah dan beramal. Disamping itu juga untuk keperluan ujian khususnya
exhternal education. Untuk mempelajari bahan hafalan,ini diperlukan jenis
belajar menghafalan (memory type of learning). Belajar menghafal sering
menimbulkan penyakit verbalisme yaitu anak tahu menyebutkan kata-kata,
definisi, rumus dan sebagainya tetapi tidak dipahami. Penyakit lain yang sering
dijumpai akibat belajar menghafal ini ialah intelektualihtas penguasaan
pengetahuan sebanyak-banyaknya dari buku pelajaran tanpa menghubungkannya
dengan realitas dalam kehidupan sehari-hari.Untuk menghindarkan anak dari
penyakit tersebut, perlu diperhatikan prinsip-prinsip berikut ini :
- Bahan yang akan dihafalkan
hendaknya diusahakan agar dipahami benar-benar oleh anak.
- Bahan hafalan hendaknya
merupkan suatu kebulatan (keseluruhan dan bukan fakta yang lepas ).
- Bahan yang hendak dihafal
hendaknya dihgunakan secara fungsional dalam situasi tertentu.
- Active recall hendaknya
senantiasa dilakukan.
- Metode keseluruhan atau
metode bagian hyang digunakan tergantung pada sifat bahan.
4. Bahan yang Mengandung Unsur
Emosi
Kalau dalam bagian yang lalu telah
dibicarakan jenis bahan yang mengandung unsur pengetahuan dan keterampilan,
maka pada bagian ini akan dilanjutkan dengan bahan yang mengandung unsur emosi
seperti kejujuran, keberanian, kesabaran, kegembiraan, kasih sayanh hdan
sebagainya. Bahan seperti ni memerlukan jenis belajar tersendiri yang disebut
emotion type learning.Dibandingkan dengan jenis belajar yang lai, jenis emosi
ini belum mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Hal itu mungkin disebabkan
oleh karena jenis belajar ini kurang dipahami hdan pelaksanaanya tidak mudah.
Kurikulum pendidikan agama memuat bahan yag khusus unuk
membentuk sifat-sifat tersebut, walaupun sifat itu dapat juga dicapai pada
setiap bidang studi selain pendidikan agama. Contoh : akhlak terhadap diri
sendiri.bahan yang akan dipelajari adalah sifat sabar, pemaaf, pemurah dan
menjauhi sifat dendam dan sebagainya. Untuk mencapai sifat tersebut guru harus
mengusahan agar anak memperoleh pengalaman sebanyak-banyaknya. Jadi dengan
menggunakan metode sosiodrama/bermain peranan da service project. Hal yang
perlu diperhatikan dalam pelaksanaanya adalah :
- Harus ada pada anak suatu ide
tentang sifat sabar, pemaaf dan sebagainya yang timbul karena pengalaman,baik
didalam kelas maupun diluar kelas. Memberitahukan sifat-sifat terpuji kepada
anak tidak banyak manfaatnya dan cenderung verbalistis.
- Timbulkan emosi pada diri
anak, yaitu ia merasa bahwa sifat itu baik atau tidak baik.
- Sifat-sifat itu harus
dilatih, dilaksanakan dalam perbuatan. Sehubungan dengan hitu faktor situasi
sekolah termasuk kepribadian guru, situasi lingkungan dan keluarga sangat besar
artinya.[10]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendekatan pembelajaran dapat berarti titik tolak atau
sudut pandang terhadap proses pembelajaran atau merupakan gambaran pola umum
perbuatan guru dan peserta didik di dalam perwujudan kegiatan pembelajaran,
yang berusaha meningkatkan kemampuan-kemampuan kognitif, afektif, dan
psikomotorik siswa dalam pengolahan pesan sehingga tercapai sasaran belajar.
Paradigma pendikan yang digunakan sekarang ini bukanlah
paradigma dimana pembelajar diibaratkan sebagai mengisi air ke dalam gelas, melainkan guru
bertindak sebagai guru yang memotivasi dan menginspirasi agar berbagai potensi
yang dimiliki peserta didik itu dapat diexplorasi dengan upayanya sendiri.
Paradigma pendidikan yang demikiaan itu,
menempatkan guru sebagai “seorang bidan” yang membantu melahirkan seorang ibu
hamil. Guru hanya membantu peserta didik agar dapat mengaktualisasikan potensi
yang di milikinya.
Dalam kegiatan belajar
mengajar yang berlangsung telah terjadi interaksi yang bertujuan. Guru dan anak
didiklah yang menggerakkannya. Ketika kegiatan belajar mengajar itu berproses,
guru harus dengan ikhlas dalam bersikap dan berbuat, serta mau memahami anak
didiknya dengan segala konsekuensinya. Hal ini akan mempengaruhi pendekatan
yang guru ambil dalam pengajaran. Pendekatan yang tepat maka akan berlangsung
belajar mengajar yang menyenangkan.
Dalam proses belajar mengajar, seorang guru
harus menyampaikan atau mengajarkan sesuatu bahan pada murid. Dalam bahan yang
akan guru ajarkan pasti mempunyai sifat yang berbeda satu dengan yang
lainnya,maka untuk setiap jenis bahan memerlukan jenis belajar sendiri. DiantaranyaBahan
yang memerlukan pengamatan, Bahan yang memerlukan keterampilan atau gerakan
tertentu, Bahan yang mengandung materi hafalan, Bahan yang Mengandung Unsur
Emosi.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin nata Perspektif islam tentang strategi
pembelajaran, jakarta : Prenada Media Group : 2009.
M. Basyruddin Usman, Metodologi Pembelajaran
Agama Islam. Cet I. Jakarta. Ciputat
Pers, 2002.
Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama
Islam. Cet ketiga. Jakarta. Kalam Mulia, 2001.
Syaiful Bahri Djamarah, Aswan Zain, Strategi
Belajar Mengajar, Jakarta. Rineka Cipta, 2010.
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam. Jakarta. PT Raja Grapindo Persada, 2005.
Zakiah Daradjat, dkk, Metodologi Pengajaran Agama
Islam, Jakarta. Bumi Aksara,1996.
. 16 Maret 2014.
[1]
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. (Jakarta: PT
Raja Grapindo Persada, 2005). Hlm. 50-51.
[2]
Ibid., hlm. 52.
[3]
M. Basyruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam. Cet I
(Jakarta: Ciputat Pers, 2002). Hlm 121.
[4]
Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam. Cet ketiga.(Jakarta: Kalam
Mulia, 2001). Hlm104.
[5]
Abuddin nata, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran,jakarta :
Prenada media group : 2009, hlm: 147-151
[6]
Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, Jakarta:
Kencana, 2009, hlm. 153
[7]Ibid,…hlm.
155-156
[8]Ibid,…hlm.
159
[9]
Syaiful Bahri Djamarah, Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, jakarta:
Rineka Cipta, 2010. Hlm. 58-71.
[10]
Zakiah Daradjat, dkk, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta : Bumi
Aksara,1996, h.261-265
.....bingung
BalasHapusterimakasih sangat membantu
BalasHapusthanks pak..sangat bagus
BalasHapusThankss sangat membantu
BalasHapusmatur suwun sanget
BalasHapus