BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ajaran
agama islam merupakan ajaran yang menyempurnakan ajaran-ajaran yang terdahulu.
Sebagaimana semua ajaran samawi yang diturunkan Allah swt sebenarnya adalah
sama dan satu tujuan yang peng-Esa-an Allah swt sebagai rabbil alamin yaitu Tuhan Semesta Alam. Sebagai seorang muslim,
kita harus mengetahui bahwa di dalam pengambilan suatu hukum harus terkait antara
Al-Qur’an dan Hadis, karena sunah atau hadis adalah penjelasan apa-apa yang ada
di dalam Al-Qur’an seperti, Allah swt menyeru kepada umat islam untuk
mendirikan sholat, tetapi tidak secara rinci akan bagaimana pelaksanaannya,
waktunya, dan caranya. Di sinilah peran penting hadis di dalam masyarakat atau
penjelas akan makna yang tersirat tadi dengan yang lebih konkret. Dengan
diparaktikkan langsung oleh Rasulullah saw tentang tata cara pelaksanaan
sholat.
Para ulama bersepakat bahwa Sumber
Hukum Islam itu ada dua yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Firman Allah swt :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ
مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ
إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ
تَأۡوِيلًا ٥٩
Artinya : “
Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil
Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah swt (
AL-Qur’an) dan Rasul (sunah) jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian....”. ( QS. An-Nisa: 59)
Sabda Rasulullah swt :
Artinya: “Bersabda Rasulullah swt: Aku tinggalkan
kepadamu sekalian dua perkara, apabila kamu berpegang teguh pada kedua perkara
tersebut niscaya kamu tidak akan tersesat selama-lamanya, kedua perkara itu
ialah Kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunah
Rasulullah (Hadis)”. ( HR. Bukhari dan Muslim)
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana cara Al-Qur’an diturunkan?
2.
Kenapa Al-Qur’an diturunkannya secara berangsur-angsur?
3.
Apa Pengertian Al-Qur’an?
4.
Bagaimana Kedudukan Dan Fungsi Al-Qur’an?
5.
Apa Pengertian As-Sunnah (Hadis)?
6.
Apa Fungsi Hadis?
7.
Bagaiman Pembagian Hadis?
8.
Apa Pengertian Ijtihad?
9.
Apa Metode Ijtihad
10.
Apa Syarat Berijtihad?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk Mengetahui cara Al-Qur’an diturunkan
2.
Untuk Mengetahui Kenapa Al-Qur’an diturunkannya secara
berangsur-angsur
3.
Untuk Mengetahui Pengertian Al-Qur’an
4.
Untuk Mengetahui Kedudukan Dan Fungsi Al-Qur’an
5.
Untuk Mengetahui Pengertian As-Sunnah (Hadis)
6.
Untuk Mengetahui Fungsi Hadis
7.
Untuk Mengetahui Pembagian Hadis
8.
Untuk Mengetahui Pengertian Ijtihad
9.
Untuk Mengetahui Metode Ijtihad
10.
Untuk Mengetahui Syarat Berijtihad
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum kita
lebih jauh membahas tentang sumber hukum islam, perlu kita ketahui dahulu bahwa
; Dalil menurut arti etimologi bahasa arab ialah : pedoman bagi apa saja yang Khissi (material) yang ma’nawi (spritual), yang baik maupun
yang jelek. Adapun menurut istilah ahli ushul (terminologi) ialah : sesuatu
yang dijadikan dalil, menurut perundangan yang benar, atas hukum syara’ mengenai perbuatan manusia,
secara pasti (qath’i) atau dugaan (zhonni).
Menurut
penyelidikan dapat dipastikan, bahwa dalili-dalil syari’ah yang diambil dari
padanya, hukum-hukum amaliyah berpangkal kepada empat pokok, keempat dalil
tersebut telah disepakati oleh jumhur (mayoritas
tokoh) umat islam, sebagai dalil. Sepakat pula bahwa sitem penggunaan dalil
dari keempat dalil tersebut, adalah menurut susunan seperti ini :
Pertama :
Al-Qur’an
Kedua :
Al-Sunnah
Ketiga :
Al-Ijma’
Keempat : Al-Qiyas
A. Turunnya Al-Qur’an
1.
Cara-cara Al-Qur’an
diturunkan
Nabi muhammad saw, dalam hal menerima wahyu
mengalami bermacam-macam cara dan keadaaan, di antaranya :
a.
Malaikat memasukkan wahyu itu kedalam hatinya. Dalam
hal ini Nabi saw, tidak melihat sesuatu apapun, hanya beliau merasa bahwa itu
sudah berada dalam kalbunya. Mengenai hal ini Nabi Muhammad sawmengatakan :
“Ruhul qudus mewahyukan kedalam kalbuku”. [Q.S. Asy-Syuura (51)].[1]
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن
يُكَلِّمَهُ ٱللَّهُ إِلَّا وَحۡيًا أَوۡ مِن وَرَآيِٕ حِجَابٍ أَوۡ يُرۡسِلَ
رَسُولٗا فَيُوحِيَ بِإِذۡنِهِۦ مَا يَشَآءُۚ إِنَّهُۥ عَلِيٌّ حَكِيمٞ ٥١
Artinya
: “Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun
bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau
dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan
kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha
Tinggi lagi Maha Bijaksana”. [Q.S.
Asy-Syuura (51)].
b.
Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi berupa
laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan
hafal benar akan kata-kata itu.
c.
Wahyu datang kepada Nabi seperti gemerincinnya
lonceng. Cara inilah yang amat berat dirasakan oleh nabi. Kadang-kadang pada
keningnya berpancaran keringat, meskipun turunya wahyu itu di musim dingin.
Kadang-kadang unta beliau terpaksa berhenti dan duduk dan merasa amat berat,
bila wahyu itu turun seketika beliau sedang mengendarai unta. Diriwayatkan oleh
Zaid bin Tsabit : “Aku adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah.
Aku lihat Rasulullah ketika turunnya wahyu itu seakan-akan dilarang oleh demam
yang keras dan keringatnya bercucuran seperti permata. Kemudian setelah selesai
turunnya wahyu, barulah beliau kembali seperti biasa.
d.
Malaikat menampakkan dirinya kepada nabi, tidak
berupa seorang laki-laki seperti keadaan n.2, tetapi seperti rupanya yang asli.
Hal ini tersebt dalam Al-Qur’an surah (53) An-Najm ayat 13 dan 14.
وَلَقَدۡ
رَءَاهُ نَزۡلَةً أُخۡرَىٰ ١٣ عِندَ
سِدۡرَةِ ٱلۡمُنتَهَىٰ ١٤
Artinya : 13. Dan sesungguhnya Muhammad telah
melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain
14. (yaitu) di Sidratil Muntaha.
2.
Hikmah Al-Qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur
Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur dalam
22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Makah dan 10 tahun di
Madinah. Hikmah Al Qur’an di turunkan secara berangsur-angsur itu ialah :
a.
Agar lebih mudah dimengerti dan dilaksanakan. Orang
akan enggan melaksanakan suruhan, dan larangan sekiranya suruhan dan dilarangan
itu turunkan sekaligus. Hal ini disebutkan oleh Bukhari dari riwayat ‘Aisyah
r.ha.
b.
Di antara ayat-ayat itu ada yang nasikh dan ada yang
mansukh, sesuai dengan kemaslahatan. Ini tidak dapat melakukan sekiranya
Al-Qur’an diturunkan sekaligus. (ini menurut pendapat yang mengatakan adanya
nasikh dan mansukh).[2]
c.
Turunnya sesuatu ayat sesuai dengan
pristiwa-pristiwa yang terjadi akan lebih mengesankan dan lebih berkesan di
hati.
d.
Memudahkan penghafalan. Orang-orang musyrik yang
telah mennaykan mengapa Al Qur’an tidak diturunkan sekaligus, sebagaimana
tersebut dalam Al Qur’an surat (25) Al Furqaan ayat 32, yaitu :
وَقَالَ
ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لَوۡلَا نُزِّلَ عَلَيۡهِ ٱلۡقُرۡءَانُ جُمۡلَةٗ وَٰحِدَةٗۚ
كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِۦ فُؤَادَكَۖ وَرَتَّلۡنَٰهُ تَرۡتِيلٗا ٣٢
Artinya : “Berkatalah orang-orang yang kafir:
"Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?";
demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara
tartil (teratur dan benar)”.
e.
Diantara ayat-ayat ada yang merupakan jawaban
daripada pertanyaan atau penolakan suatu pendapat atau perbuatan, sebagai
dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas r.a. Hal ini tidak dapat terlaksana kalau Al Qur’an diturunkan
sekaligus.[3]
B. Al-Qur’an
1.
Pengertian Al-Qur’an
Menurut bahasa, AL-Qur’an berarti
bacaan. Adapun definisi Al-Qur’an menurut istilah adalah “Kalam Allah yang
merupakan mukjizat yang di turunkan (diwahyukan) melalui malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad saw yang ditulis dimushaf dan diriwayatkan secara mutawatir serta
membacanya adalah ibadah.
Al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad saw yang mengandung petunjuk bagi manusia, sekaligus menjadi
pedoman hidup bagi mereka yang ingin mencapai kebahagian di dunia dan di
akhirat. Al-Qur’an diturunkan tidak
hanya untuk suatu umat atau suatu abad, akan tetapi untuk seluruh umat dan
berlaku sepanjang masa. [4]
2.
Kedudukan dan Fungsi
Al-Qur’an
Al-Qur’an menjadi sumber seluruh ajaran islam sebagai
wahyu Allah swt. Ia menjadi rahmat, hidyah, dan syfaat bagi seluruh manusia.
Ajaran al-qur’an selalu sesuai dengan kkepentingan dan kebutuhan manusia dalam
kencah kehidupan dan cocok dengan fitrah manusia. Setelah prinsip tauhid
(ke-Esa-an Allah), maka prinsip ajaran al-qur’an berikutnya adalah “amar ma’ruf
nahi mungkar” yaitu perintah menegaskan kebaikan keadilan serta mencegah segala
yang berbahaya, keji, dan mungkar.
Sebagai
pedoman hidup bagi manusia, Allah Menjamin kemurnian Al-Qur’an. Firman Allah
swt :
إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ
وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ ٩
Artinya
: “Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya”. (QS. Al-Hijr : 9)
Kuat atau
lemah, maju atau mundur umat islam tergantung pada sikap umat islam itu sendiri
terhadap Al-Qur’an. Al-qur’an tidak hanya berfungsi untuk dibaca dengan
lagu-lagu merdu, bukan pula berfungsi hanya untuk Musabaqah Tilawatil Qur’an
(MTQ), tetapi ia harus difungsikan dalam kehidupan masyarakat. Ia harus
disosialisasikan di dalam kehidupan sehari-hari.
Al-qur’an adalah “ruh” yang memberikan kehidupan
hakiki bagi mereka yang berpedoman kepadanya. Ia adalah sebagai “syifa” yaitu
obat segala penyakit rohani yang diderita oleh manusia. Ia adalah “Nur” yang
memberi cahaya petunjuk bagi mereka yang berkelana, meraba-raba dalam
kegelapan. Ia adalah “Al-Huda”, petunjuk ke jalan yang lurus ke hadirat
Tuhannya. Ia juga adalah “Ar-Rahman”, nikmat bagi mereka yang sedang berjuang
mencari kebahagian.
Sebagai sumber hukum islam, al-qur’an menduduki
tempat yang paling atas, karena cara penyampaiannya dilakukan secara mutawir
(langsung dari Allah). Oleh karena itu, secara pasti Al-qur’an dapat dijadikan
sebagai hujjah (dasar pengambilan hukum) bagi umat manusia. Hukum-hukum yang
ada di dalam al-qur’an dapat dijadikan sebagai pedoman yang nyata bagi umat
manusia.[5]
C. Hadis
1.
Pengertian Hadis
Hadis
atau sunah rasul ditinjau dari segi bahasa adalah “jalan yang biasa dilalui”
atau “cara yang senantiasa dilakukan, tanpa mempermasalahkan, apakah cara
tersebut baik atau buruk”.
Arti tersebut bisa ditemukan dalam sabda Rasulullah
saw, yang berbunyi :
Artinya : “Barangsiapa yang membiasakan sesuatu
yang baik di dalam islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang
sesudahnya yang mengamalkannya”. (HR. Muslim)
Secara
terminologis, Hadis atau Sunah yaitu segala sesuatu yang di sandarkan kepada
Nabi Muhammad saw, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan.
Sebagai
sumber hukum islam, hadis menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an. Dalam hal
ini telah ditetapkan dalam firman Allah swt :
فَلَا
وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ
لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ
تَسۡلِيمٗا ٦٥
Arttinya
: “Maka demi Tuhanmu,
mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam
hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya”. (QS. An-Nisa : 65)
Juga firman Allah swt :
وَمَآ
ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ
Artinya : “ .
. . Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”.
(QS.
Al-Hasyr : 7). [6]
Dalam
ayat lain Allah swt berfirman :
وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ
لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ ١٣٢
Artinya : “Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmati”. (QS. Ali Imran : 132)
As-Sunnah
ialah segala sesuatu yang datangdari Nabi saw selain Al-Qur’an, baik berupa
perkataan, perbuatan, meupun ketetapannya yang berkenaan dengan hukum syara’.[7]
Karena itu, segala Hadis yang diakui sahih dan tidak
berlawanan dengan al-qur’an, samalah kedudukannya dengan al-qur’an sendiri,
dalam arti sama-sama wajib diikuti oleh semua umat manusia. Sekalipun diucapkan
di tengah-tengah masyarakat arab, namun Nabi Muhammad saw diutus oleh Allah swt
untuk menjadi rahmat bagi alam (bagi segala masyarakat), tidak memandang suku,
bangsa, dan ras manusia.
Firman
Allah swt :
وَمَآ
أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةٗ لِّلۡعَٰلَمِينَ ١٠٧
Artinya : “Dan tiadalah Kami
mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS.
Al-Anbiya : 107)
Dengan
mendasarkan pada pengertian sunnah secara leksikal sebagaimana yang disampaikan
oleh Ibnu Duraid dalam al-Jambarat yang diartikan dengan “sawwara” (mencipta), dan disampaikan leh penulis Lisan al-arab yang
mengartika dengan “al-syirat” (perilaku kehidupan), rahman menyimpulkan bahwa
pada dasarnya sunnah berarti “tingkahlaku yang merupakan teladan”dan bahwa
kepatuhan terhadap sunnah tersebut bukanlah bagian integral dari sunnah
walaupun untuk menyempurnakannya sunnah tersebut perlu dipatuhi. [8]
2.
Fungsi Hadis
Secara
ringkas, hadis berfungsi sebagai berikut :
1.
Memperkuat hukum yang telah ditentukan oleh
Al-Qur’an
2.
Memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an
yang bersifat umum.
Contohnya : seperti pengharaman melakukan poligami
bagi seorang pria terhadap dua orang wanita yang terkait persaudaraan antara
tante dan keponakannya
Dalil
pendukung :
Dari Abu
Hurairah r.a : dia berkata Rasulullah saw bersabda, Sekali-kali tidak boleh
dikumpulkan antara seorang wanita dengan tantenya sendiri, baik daris garis
ayah maupu ibu”. (HR. Bukhari & Muslim)[10]
3.
Pembagian Hadis
Ditinjau dari sumbernya, Hadis dibagi menjadi Hadis
Mutawatir dan Hadis Ahad. Hadis mutawatir terdiri dari mutawatir lafzi dan
mutawatir ma’nawi, sedangkan hadis ahad terdiri dari sahih, hasan, dan dho’if.
Hadis mutawir ialah hadis yang sumbernya banyak, sehingga
menurut adat kebiasaan keilmuan hadis, mustahil mereka sepakat untk berdusta.
Sedangkan hadis ahad ialah hadir yang sumbernya tidak banyak, sehingga bisa
memungkinkan mereka berdusta.
Berdasarkan kualitasnya, hadis mutawatir, baik
mutawatir lafzi ataupun mutawatir ma’nawi, dapat dijadikan sebagai sumber hukum
islam secara mutlak, sedangkan kehujjahan hadis ahad diperselisihkan para
ulama. Sebagian menerima sebagai sumber hukum, sebagian yang lain tidak
menerima hadis ahad sebagai sumber hukum islam.
Adapun klasifikasi hadis secara definisinya :
-
Hadis Mutawatir ialah hadis yang diriwayatkan oleh
sejumlah perawi pada setiap thabaqatnya, yang tidak mungkin mereka bersepakat
untuk berdusta.
-
Hadis Masyhur ialah hadis yang diriwayatkan oleh
sejumlah perawi, yang pada thabaqat sahabat tidak mencapai jumlah minimal
mutawatir, kendati pada thabaqat tabi’in dan seterusnya mutawatir.
-
Hadis Ahad ialah hadis yang hanya diriwayatkan oleh
satu atau dua orang perawi pada setiap thabaqatnya.[11]
Ada
sebagian lagi ulama’ yang berpendapat bahwa sumber hukum islam itu tidak hanya
Al-Qur’an dan As-Sunnah melainkan ditambah dengan Ijma’ dan Qiyas. Akan tetapi,
ada juga yang memasukkan Ijma’ dan Qiyas sebagai metode Ijtihad.
D. Ijtihad
Ijtihad merupakan dinamika ajaran islam yang
keberadaannya harus dipertahankan untuk menciptakan kehidupan yang kreatif. Hal
ini disebabkan Al-Qur’an hanya memuat permaslahan-permasalahan secara garis
besar. Ijtihad diartikan sebagai segala usaha yang dilakukan oleh mujtahid
dalam berbagai bidang ilmu, termasuk bidang teologi, filsafat, dan tasawuf.
Ijtihad
adalah dasar hukum islam yang ketiga, setelah Al-Qur’an dan Hadis (As-Sunnah).
-
Menurut bahasa, “Ijtihad” berasal dari kata
Ijtihada, yang berarti “mencurahkan tenaga, memeras pikiran, berusaha
sungguh-sungguh, dan bekerja semaksimal mungkin”.
-
Menurut istilah, Ijtihad ialah berusaha
dengan sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik
dalam Al-Qur’an maupun Hadis. [12]
Islam memberikan penghargaan tinggi terhadap
pemikiran. Jika Al-Qur’an dan Hadis sebagai dua sumber hukum islam, maka
Ijtihad berfungsi sebagai alat penggeraknya. Tanpa daya ijtihad, kedua sumber
itu menjadi lumpuh. Karena itu Ijtihad menjadi sumber hukum ketiga dalam islam.
Hasi Ijtihad merupakan pelengkap risalah islam yang abadi. Ia menjadi bukti
bagi manusia bahwa islam selalu meberikan pintu terbuka bagi mereka yang selalu
mencari. Bukan saja diperkenankan, bahkan Ijtihad itu diperintahkan.
Firman
Allah swt :
لِكُلّٖ
جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةٗ وَمِنۡهَاجٗاۚ
Artinya
: “Untuk tiap orang dari kamu, kami telah
ciptakan satu syari’ah dan satu jalan
terbuka”. (QS. Al-Maidah: 48)
Dalam sebuah
Hadis, terjadi dialog yang menarik sekali antara Nabi dengan seorang sahabatnya
bernama Mu’az Bin Jabal. Dialog ini terjadi ketika Nabi mengankat dia sebagai
utusannya di Yaman.
Artinya : “Dari
Mu’az Bin Jabal. Bahwa Rasulullah saw mengutus untuk menjadi qadi di Yaman,
Berkatalah Nabi : “Bagaimana engkau memutuskan perkara yang dibawa orang
padamu? Mu’az : “Hamba akan memutuskan menurut Kitabullah (Al-Qur’an)”. Nabi :
“dan jika di dalam Kitabullah engkau tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu.”
Mu’az : “Jika begitu, hamba akan memutuskan menurut Sunnah Rasulullah.” Nabi :
“Dan jika kamu tidak menemukan mengenai hal itu di dalam Sunnah Rasulullah?”
Mu’az : “Hamba akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ajtahidu
di ra’yi)tanpa bimbang sedikitpun. “ Nabi : “Alhamdulillah, segala puji Allah
yang telah menyebabkan utusan Rasul-Nya menyenangkan hati Rasulullah.”(H.R.
Darimi)[13]
1.
Syarat Berijtihad
Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam berijtihad :
a.
Seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad)
harus memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan bahasa arab, tafsir, ilmu
Hadis, sejarah, dan ilmu ushul fiqih.
b.
Ia harus mengenal
cara melakukan qiyas (menetapkan hukum pengetahuan dengan berpatokan
pada suatu hukum yang telah ada) d an Ijma’ (kesepakatan ulama’ mengenai
sesuatu).
Ijtihad adalah kemampuan logika muslim dalam
menggali kebenaran yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Hasil dan buah dari
Ijtihad itu tentu ada perbedaan menurut ruang dan waktu setta menurut
intelektual mujtahid. Hasil dari suatu Ijtihad pada masa lalu atau hasil dari
ijtihad dari daerah lain dapat pula menjadi dapat pula menjadi objek Ijtihad
lagi bagi seseorang mujtahid, dan demikian seterusnya. Ijtihad diijtihadkan
lagi.
Sebagaimana hasil pemikiran logika pada umumnya,
dapat benar atau salah, maka demikian pula hasil ijtihad. Suatu Ijtihad yang
salah tidak dianggap dosa, malah diberi pahala satu, sebagai penghargaan islam
terhadap usaha pengabdian dan penggunaan rasio sebagaimana diamanatkan Allah
swt. Sebaliknya, bila suatu ijtihad benar, maka Allah swt akan memberinya dua
pahala.
Sabda Rasulullah saw :
Artinya :
“Apabila seorang hakim memutuskan masalah dengan jalan Ijtihad kemudian benar,
maka ia mendapat dua pahala. Dan apabila dia memutuskan dengan jalan Ijtihad
kemudian keliru, maka ia hanya mendapat satu pahala. (HR. Bukhari & Muslim)[14]
2.
Metode Ijtihad
Metode Ijtihad
dapat dilakukan dengan bebagai cara, yaitu sebagai berikut :
a.
Ijma’ (Kesepakatan ulama’)
b.
Qiyas (menetapkan hukum sesuatu yang belum ada hukumnya
dengan mengacu pada hukumnya, berdasarkan persamaan yang ada anatar hal
tersebut).
c.
Istihsan (menetapkan hukum dengan berorientasi pada
kebaikan).
d.
Maslahah
Al-Murslah (menetapkan hukum dengan berorientasi pada kemaslahatan umat).
e.
Istishab (menetapkan hukum atas dasar hukum asal,
karena tidak adanya hukum qath’i (hukum yang pasti) yang mengubah hukum asal tersebut).
f.
‘Urf (menetapkan hukum sesuatu dengan berorientasi
pada adat-istiadat)
g.
Syadzu Dzari’ah (menetapkan hukum sesuatu dengan
berorientasi pada mencegah bahaya yang mungkin muncul).
h.
Mazhab Sahaby (menetapkan hukum sesuatu dengan
berorientasi pada kebiasaan para sahabat).
BAB
III
TELAAH
MATERI
Analisi/Talaah
Substansi (Isi)
Di dalam bagian BAB III
ini penulis mentalaah, menganalisis, serta menguraikan beberapa sub-sub bagian
sumber hukum islam, yang sebelumnya sudah dipaparkan di dalam bagian BAB II,
namun dalam paparannya masih belum mendalam. Nah, disini pada bagian BAB III
ini kami mencoba menguraikan talaah dan analisisnya. Karena di dalam buku paket
kelas X tidak ditemukan kriteria seorang
mujtahid. Nah, disini kami mencoba menelaah dan menganalisis apa itu kriteria
atau syarat menjadi seorang mujtahid :
Seorang mujtahid (orang
yang melakukan ijtihad) harus memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan :
1.
Seorang mujtahid harus mengetahui dan memahami makna
ayat-ayat hukum, baik makna semantik, maupun konotasi hukumnya. Dan dalam hal
ini seorang mujtahid tidak di tuntut untuk hapal seluruh ayat ahkam tersebut,
sehingga dapat mencarinya secara cepat pada saat perlu.[15]
2.
Seorang mujtahd harus mengetahui dan memahami makna
hadishadis hukum, namun setidaknya harus tahu tempat-tempatnya, dan dapat
mencarinya secara cepat di saat ia perlu.
3.
Seorang mujtahid harus mengetahui ayat-ayat yang
mansukh dan yang menasakhnya, sehingga dia tidak berpegang pada dalil yang
secara hukum sudah terpakai lagi.
4.
Seorang mujtahid juga harus mengetahui
ketentuan-ketentuan hukum telah ditetapkan lewat Ijma’ sehingga ia tidak
melahirkan fatwa yang berbeda dengan hasil-hasil Ijma’ tersebut.
5.
Mengetahui dan menguasai metodologi qiyas dangan
baik. Dia mampu melakukan identifikasi furu’ dengan baik, lalu memproyeksikan
“ashal”nya telah ditetapkan oleh Nash, untuk dikaji kesamaan-kesamaan ilatnya
dengan furu’. Kalau keduanya mempunyai kesamaan ilat, maka hukum furu’ sama
dengan hukum ashal.
6.
Seorang mujtahid
juga harus memahami bahasa rab dengan baik. Dia harus menguasai
gramatika, bentuk-bentuk kalimatnya, segi-segi kesatraannya, am dan khas, serta
mutlak dan muqayatnya karena al-Qur’an itu berbahasa arab. Oleh karena itu
segala sesuatu yang berkaitan dengan kesastraan bahasa arab harus dikuasai oleh
seorang mujtahid.
7.
Kemudian seorang mujtahid juga harus menguasai kaidah-kaidah
ushul fiqh dengan baik, dan bahkan ia juga harus menguasai dasar-dasar
pemikiran yang mendasari rumusan-rumusan kaidah tersebut, sehingga bilamana
perlu ia menciptakan kaidah sendiri.
8.
Dan terakhir, seorang mujtahid harus memahami maqasid al-syari’ah, karena maqasid
al-syari’ah itu merupakan tujuan akhir
yang hendak dicapai lewat pelaksanaan hukum islam.
Kriteria ideal ini
merupakan rumusan yang diangkat sesuai dengan beban ijtihad yang cukup berat
itu. Oleh karenanya, Wahbah al-Zuhaily sendiri menyatakan bahwa
kriteria-kriteria di atas adalah kriteria untuk seorang mujtahid mutlaq. Dan
bukan mujtahid pada umumnya. Namun setidaknya mujtahid-mujtahid yang bukan
mujtahid mutlak, juga harus mempunyai kualifikasi kemampuan yang mengacu pada
kriteria di atas.
BAB IV
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Sumber hukum islam secara
keseluruhan itu ada tiga, ialah Al-Qur’an, Hadis (As-Sunnah), dan Ijtihad
(hasil pemikiran hukum yang ditetapkan) karena tidak ditemui di dalam Al-Qur’an
dan Hadis.
Al-Qur’an adalah kitab
suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw yang mengandung petunjuk bagi
manusia, sekaligus menjadi pedoman hidup bagi mereka yang ingin mencapai
kebahagian di dunia dan di akhirat.
As-Sunnah
ialah segala sesuatu yang datangdari Nabi saw selain Al-Qur’an, baik berupa
perkataan, perbuatan, meupun ketetapannya yang berkenaan dengan hukum syara’.
Ijtihad
merupakan dinamika ajaran islam yang keberadaannya harus dipertahankan untuk
menciptakan kehidupan yang kreatif.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ
مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ
إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ
تَأۡوِيلًا ٥٩
Artinya : “
Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil
Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah swt (
AL-Qur’an) dan Rasul (sunah) jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian....”. ( QS. An-Nisa: 59)
B. Saran
Dengan selesainya makalah ini kami mengucapkan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang ikut andil dalam penulisan makalah
ini. Tak lupa kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik yang membangun selalu kami tunggu dan
kami perhatikan.
DAFTAR PUSTAKA
Thoifuri & Rahayu, Suci.
20017. Pendidikan Agama Islam untuk SMA-Kelas X, Jakarta : Geneca Exact.
Rosyada, Dede. 1999. Hukum Islam & Pranata Sosial, Jakarta
: PT Raja Grafindao Persada.
A. Mas’adi, Ghufron.
1997. Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
Khaeruman, Badri. 2010.
Hukum Islam dalam Perubahan Sosisal, Bandung
: CV. Pustaka Setia.
Departemen
Agama RI. 1994. Al Qur’an dan
Terjemahnya, Jakarta:, CV. Adi Grafika Semarang.
[1] Departemen Agama RI, Al Qur’an
dan Terjemahnya, Jakarta: 1994, CV. Adi Grafika Semarang. Hlm. 17.
[2] Ibid, Hlm. 18
[3] Ibid,
[4]Thoifuri & Suci Rahayu, Pendidikan
Agama Islam untuk SMA-Kelas X, Jakarta : 2007, Geneca Exact. Hlm. 55
[5] Ibid, Hlm. 55-56
[6] Ibid, Hlm. 56
[7] Dede Rosyada, Hukum Islam &
Pranata Sosial, Jakarta : 1999, PT Raja Grafindao Persada. Hlm. 34
[8] Ibid, Hlm. 57
[9] Ghufron A. Mas’adi, Metodologi
Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta : 1997, PT Raja Grafindo Persada. Hlm.
126-127
[10] Dede Rosyada, Hukum Islam &
Pranata Sosial, Jakarta : 1999, PT Raja Grafindao Persada. Hlm. 39-40
[11] Ibid, Hlm. 36-37
[12] Badri Khaeruman, Hukum Islam
dalam Perubahan Sosisal, Bandung : 2010, CV Pustaka Setia. Hlm. 79
[13] Ibid, Hlm. 59
[14] Ibid, Hlm. 60
[15] Dede Rosyada, Hukum Islam &
Pranata Sosial, Jakarta : 1999, PT Raja Grafindao Persada. Hlm. 115-116
Tidak ada komentar:
Posting Komentar