Minggu, 19 April 2015

MAKALAH PENDEKATAN DALAM PEMBELAJARAN



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dalam perspektif islam makna belajar bukan hanya sekedar upaya perubahan perilaku. Konsep belajar dalam islam merupakan konsep belajar yang ideal, karena sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam. Tujuan belajar dalam islam bukanlah mencari rezeki didunia ini semata, tetapi untuk sampai kepada hakikat, memperkuat akhlak yang sempurna.
Dalam keseluruhan proses pendidikan disekolah, termasuk pendidikan agama islam di sekolah-sekolah dan madrasah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan, banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh anak didik.[1]  Menurut Hamalik belajar mengandung pengertian terjadinya perubahan dari persepsi dan prilaku, termasuk juga perbaikan prilaku, misalnya pemuasan kebutuhan masyarakat dan pribadi secara lengkap.[2] Istilah strategi lebih luas pengertiannya dari metode atau tekhnik, dengan kata lain di dalam strategi juga terkandung pengertian metode atau tekhnik, di mana dalam strategi juga dibicarakan pendekatan pengajaran dalam penyampain informasi, memilih sumber belajar, menunjang pengajaran, menetukan dan menjelaskan peranan siswa.[3]
Dilihat dari segi kepentingannya, pendidikan dapat dilihat dari dua bagian, pertama pendidikan dari segi kepentingan individual, dan kedua pendidikan dari segi kepentingan masyarakat. Dari segi kepentingan individual, pendidikan di samping harus memperhatikan perbedaan bakat, kemampuan, kecenderungan dan lainnya yang dimiliki anak, juga harus dapat membantu individu  dalam mengekspresikan dan mengaktualisasikan dirinya, sehingga dapat menolongnya . Pendidikan agama islam bertujuan meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan peserta didik tentang ajaran islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermsyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan islam di sekolah bertujuan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, pengahyatan, dan pengalaman siswa tentang agama islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertqwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, masyarakat, berbangsa dan bernegara serta untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi.[4]
B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Pentingnya pendekatan dalam pembelajaran.
2.    Apa Jenis-jenis Pendekatan dalam Pembelajaran
3.    Apa Tipe-tipe Pendekatan
4.    Bagaimana Implikasi Pendekatan Pembelajaran Dalam Praksis pembelajaran
5.    Bagaimana Relevansi Metode Dengan Bahan Pelajaran
C.      Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui Pentingnya pendekatan dalam pembelajaran.
2.    Untuk mengetahui Jenis-jenis Pendekatan dalam Pembelajaran
3.    Untuk mengetahui Tipe-tipe Pendekatan
4.    Untuk mengetahui Implikasi Pendekatan Pembelajaran Dalam Praksis pembelajaran
5.    Untuk mengetahui Relevansi Metode Dengan Bahan Pelajaran
D.      Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang penulis gunakan dalam makalah ini adalah metode library research. yang mana penulis menggunakan buku-buku dari perpustakaan sebagai bahan referensi dimana penulis mencari literatur yang sesuai dengan materi yang di kupas dalam makalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pentingnya pendekatan dalam pembelajaran.

Di lihat dari segi kepentingannya, pendidikaan dapat dilihat dari dua bagian. Pertama pendidikan dari segi kepentingan individual, kedua pendidikan dari segi kepentingan masyarakat. Dari segi kepentingan individual, pendidikan di samping harus memerhatikan perbedaan bakat, kemampuaan, kecenderungan dan lainnya yang dimiliki anak didik, juga harus dapat membantu individu dalam mengexpresikan dan mengaktualisasikan dirinya, sehingga dapat menolongnya dikemudian hari.Dengan pendekatan yang bersifat individualistis ini, pendidikan hanya befungsi menciptakan kondisi dan situasi yang memungkinkan bebagai potensi pesreta didik yang berbeda-beda itu dapat diwujudkan dalam kenyataan. Paradigma pendikan yang digunakan bukanlah mengisi air ke dalam gelas, melainkan memotivasi dan menginspirasi agar berbagai potensi yang dimiliki peserta didik itu dapat diexplorasi dengan upayanya sendiri. Paradigma pendidikan  yang demikiaan itu, menempatkan guru sebagai “seorang bidan” yang membantu melhirkan seorang ibu hamil. Guru hanya membantu peserta didik agar dapat mengaktualisasikan potensi yang di milikinya.
Dengan cara demikian, maka guru bukan sebagai informan (pemberi informasi), melainkan sebagai agent yang menggerakan terjadinya proses pembelajaran pada anak didik, sehingga ank didik mau belajar denga giat dan sungguh-sungguh, melahirkan gagasn, pemikiran, dan sebagainya dengan aktivitasnya sendiri. Keadaan ini pada tahap selanjutnya menempatkan guru sebagai motivator, katalisator, inspirator, imaginator, fasilitator, dan seterusnya. Paradigma guru dalam konteks kegiatan pembelajaran yang demikian itu telah menjadi salah satu pilihan yang banyak diterapkan pada negara yang mengandung sistem pemerintahan yang demokratis termasuk di indonesia.
Paradigma pendidikan yang bersifat individualistis ini memiliki landasan dan akar konseptual pada teori psikologi yang beraliran nativisme, humanisme, dan liberalisme. yaitu sebagai teori psikologi yang mengatakan bahwa setip manusia memilik bakat, kecenderungan dan lain sebagainya yang berasal dari dirinya sendiri, dan oleh karena itu mereka harus diberikan kebebasan sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan dan paksaan dari luar. Konsep pendidikan yang individualistis ini misalnya, dapat dikembalikan kepada socrates, jogh dewey, ivan illich, dan lain-lain. Konsep pendidikan ini juga berakar pada pandangan tentang tidak adanya nilai moral universal. Nilai-nilai moral seluruhnya bersifat positifistik dan anthropocentris. Yakni bergantung kepada ukuran dan parameter yang dietentukan oleh masing-masing individu. Dengan demikiaan, nilai moral menjadi sesuatu yang bersifat relatif dan personal. Keaadan ini pada gilirannya membawa pada keaadaan tidak adanya hukum universal yang dapat digunakan oleh seluruh umat manusia.
Adapun pendidikan yang dilihat dari segi kepentingan masyarakat adalah pendidikan yang lebih merupakan media atau sarana yang berfungsi menyalurkan gagasan, pemikiran, nilai-nilai budaya, agama, sistem politik, ilmu pengetahuaan, dan lain sebagginya yang sudah diakui oleh masyarakat dan negara. Dengan demikian, kepentingan masyarakat dan negara sangat menentukan dlam mengarahkan kegiatan pendidikan.
Pendidikan yang demikiaan itu, pada gilirannya menempatkan guru sebagai satu-satunya yang memiliki otoritas untuk menentukan corak dan warna pendidikan. Dan dalam waktu yang bersamaan, peserta didik ditempatkan sebagai objek yang sepenuhnya mengikuti kehendak guru. peserta didik tidak memiliki pilihan lain. Kecuali harus mengikuti agenda pendidikan dan pengajaran yang telah disiapkan pemerintah dan masyarakat. Dengan paradigma yang demikiaan itu, maka paradigma guru menjadi satu-satunya agent of information atau agent of knowledgel. Hal ini pada gilirannya membawa konsep pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centris). Guru memberikan sejumlah pengetahuan ajaran dan lainnya yang harus dihapal dan dikuasai dengan baik oleh peserta didik, tanpa ada peluang bagi mereka untuk mempertanyakan urgensitas dan relevansitas yang diajarkan oleh guru tersebut. Dengan paaradigma ini, maka guru yang menjadi aktif, sedangkan murid menjadi pasif. Pardigma pendididik yang digunakan dalam konteks ini adalah “ mengisi air kedalam gelas” atau “ menuangkan ilmu pengetahuaan, keterampilan, dan sebagainya, kkedalam otak peserta didik.”
Dengan pendekatan yang demikiaan, maka pendidikan dengan berbagai komponennya: Visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar, guru, murid, manajemen, sarana prasarana, lingkungan,keuangan, alat dan sumber belajar, evlauasi dan lainnya di tentukan dari atas atau pusat, yaitu di tentukan oleh mereka yang memiliki otorits sebagai pengambil kebijakan. Pendidikan yang bercorak sentrlistis ini dianggap kurang memberikan kemungkinan pada pesrta didik untuk berkreasi, berinovasi, berimajinasi dan lain sebagainya.
Corak pendidikan demikian itu didasarkan pada sebuah asumsi tentang adanya moral universal, yaitu nilai-nilai moral yang dianggap permanen, telah teruji dalam sejarah, bersifat abadi, dan karenanya perlu dilestarikan dan ditanamkan pada peserta didik tanpa syarat. Konsep pendidikan sedemikian itu, banayak digunaka pada negara berkembang yang menganut sistem pemerintahan yang otoriter dan sentralistis.Adanya dua aliran kepentingan pendidikan sebagaimana pendidikan tersebut, pada gilirannya membawa kepada timbulanya aliran pendidikan yang ketiga, yaitu konsep pendidikan yang mencoba menghubungkan antara kepentingan individual dan masyarakat. Konsep yang memadukan kepentingan idividual dan masyarakat ini didasarkan pada sebuah asumsi, bahwa selain memiliki kebebasan individual, manusia juga dibatasi oleh kebebasan sosial. Selain makhluk individual yang merupakn hak privasinya, manusia juga makhluk sosial. Selain mementingkan kebutuhan individualnya, manusia juga harus mementingkan kebutuhan sosialnya.[5]
B.  Jenis-jenis Pendekatandalam Pembelajaran
1.   Pendekatan Individualistic
Pendekatan individualistic dalam proses pembelajaran, adalah sebuah pendekatan yang bertolak pada asumsi bahwa peserta didik memiliki latar belakang perbedaan dari segi kecerdasan, bakat, kecenderungan, motivasi, dan sebagainya. Perbedaan individualistis peserta didik tersebut memberikan wawasan kepada guru bahwa strategi pembelajaran harus memerhatikan perbedaan peserta didik pada aspek individual ini. Dengan kata lain, guru harus melakukan pendekatan individual dalam strategi belajar mengajarnya. Bila hal ini tidak dilakukan, makastrategi belajar tuntas (mastery learning) yang menuntut penguasaan penuh kepada peserta didik tidak pernah menjadi kenyataan. Dengan pendekatan individual ini kepada peserta didik dapat diharapkan memiliki tingkat penguasaan materi yang optimal.
Pendekatan belajar individualistis ini berguna untuk mengatasi peserta didik yang suka benyak bicara atau membuat keributan dalam kelas. Caranya antara lain dengan memindahkan salah satu peserta didik tersebut pada tempat yang terpisah dengan jarak yang cukuup jauh dengan peserta didik lainnya. Peserta didik yang suka berbicara ditempatkan pada anak didik yang pendiam.[6]
Melalui pendekatan ini, kesulitan peserta didik dalam belajar segera dapat dipecahkan. Pendekatan individualistic juga adalah pendekatan uang demokratis, karena memperlakukan setiap peserta didik sesuai dengan keinginannya. Dan dengan pendekatan ini, penghargaan terhadap kecakapan peserta didik yang berbeda-beda dapat dilakukan. Bagi peserta didik yang mau belajar sungguh-sungguh dan cerdas, memiliki kesempatan dan peluang untuk belajar lebih cepat. Sebaliknya, peserta didik yang kurang cerdas dan kurang sungguh-sungguh dapat menyelesaikan pelajarannya sesuai dengan kesanggupannya.
Namun demikian, pendekatan ini selain memiliki manfaat dan keuntungan, juga tidak terlepas dari kekurangan. Pendekatan individualistis mengharuskan seorang guru memberikan perlakuan yang berbeda-beda pada setiap peserta didik. Keadaan ini amat menyulitkan, jika jumlah peserta didiknya cukup banyak, karena akan memakan waktu yang cukup banyak pula, dan karenanya kurang efisien. Selain itu, pendekatan ini juga mengharuskan adanya desain kelas yang kecil-kecil (small class) yang jumlahnya cukup banyak. kelas kecil yang jumlahnya cukup banyak ini tidak dapat ditangani hanya oleh satu orang guru, melainkan oleh sebuah team teacher. Pendekatan ini menyebabkan peserta didik kurang memiliki kesempatan untuk bersosialisasi, dan pada gilirannya dapat menimbulkan sikap individualistis pada peserta didik.
2.   Pendekatan Kelompok
Pendekatan kelompok adalah sebuah pendekatan yang didasarkan pada pandangan, bahwa pada setiap peserta didik terdapat perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan antara satu dan lainnya. perbedaan yang peserta didik yang satu dengan yang lainnya ini, bukanlah untuk dipertentangkan atau dipisahkan, melainkan harus diintegrasikan. Seorang peserta didik yang cerdas misalnya, dapat disatukan dengan peserta didik yang kurang cerdas, sehingga peserta didik yang kurang cerdas itu dapat ditolong oleh peserta didik yang cerdas. Demikian pula, persamaan yang dimiliki antara peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lainnya dapat disinergikan sehingga dapat saling menunjang secara optimal.
Selain itu, pendekatan kelompok ini juga didasarkan pada asumsi, bahwa setiap anak didik memiliki kecenderungan untuk berteman dan berkelompok dalam rangka memperoleh pengalaman hidup dan bersosialisasi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan pendekatan kelompok ini, diharapkan dapat ditumbuhkan rasa sosial yang tinggi pada setiap peserta didik, dan sekaligus untuk mengendalikan rasa egoism yang ada dalam diri mereka masing-masing, sehingga terbina sikap kesetiakawanan sosial di dalam kelas.
   Dengan pendekatan kelompok ini, mereka diharapkan memiliki kesadaran bahwa hidup ini ternyata hidup ini saling membutuhkan dan saling tergantung antara satu dengan yang lainnya. tidak ada makhluk hidup yang terus menerus dapat mencukupi dirinya tanpa bantuan orang lain.
Sehubungan dengan penggunaan pendekatan kelompok sebagaimana tersebut di atas, terdapat sejumlah factor yang perlu dipertimbangkan, seperti factor tujuan, peralatan dan sumber belajar, metode yang akan dipergunakan, lingkungan tempat belajar, serta keadaan peserta didik itu sendiri. Dengan demikian, penggunaan pendekatan kelompok ini tidak dapat dilakukan secara sembrono atau tanpa perhitungan yang matang.[7]
3.   Pendekatan Campuran
Pada bagian terdahulu telah dikemukakan, bahwa seorang anak didik di samping memiliki latar belakang perbedaan secara individual, juga memiliki persamaan sebagai makhluk yang berkelompok. Dengan demikian, setiappeserta didik sesungguhnya dapat didekati secara individual dan kelompok. Pada bagian terdahulu juga sudah dikemukakan, bahwa pada pendekatan individual dan kelompok masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
Keadaan sebagaimana tersebut di atas, member petunjuk tentang kemungkinan dapat dilakukan pendekatan yang ketiga, yaitu pendekatan campuran, yaitu sebuah pendekatan yang bertumpu pada upaya menyinergikan keunggulan yang terdapat pada pendekatan individual dan keunggulan yang terdapat pada pendekatan kelompok. Namun dalam praktiknya, pendekatan campuran ini akan jauh lebih banyak masalahnya dibandingkan dengan dua pendekatan sebagaimana tersebut di atas. Ketika guru dihadapkan kepada permasalahan peserta didik yang bermasalah, maka guru akan berhadapan dengan permaslahan peserta didikyang bervariasi. Setiap masalah yang dihadapi peserta didik tidak selalu sama, terkadang ada perbedaan.
   Uraian tersebut di atas telah menjelaskan, bahwa setiap peserta didik memiliki motivasi yang berbeda-beda dalam belajar.dari atu sisi terdapat peserta didik yang memiliki motivasi yang tinggi untuk belajar, namun pada sisi lain terdapat peserta didik yang motivsi belajarnya sedang-sedang saja, atau rendah. Keadaan ini swlanjutnya menimbulkan keadaan peserta didik yang satu bergairah dalam dalam belajar, sedangkan peserta didik yang lainnya biasa-biasa saja, bahkan tidak bergairah sama sekali, dan tidak mau ikut belajar. Ia malah asyik bersenda gurau, bermain-main, atau melakukan pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan belajar. Mereka duduk dan berbicara, berbincang-bincang satu sama lain tentang hal-hal yang terlepas dari masalah pelajaran.[8]
4.   Pendekatan Edukatif
Apapun yang guru lakukan dalam pendidikan dan pengajaran dengan tujuan untuk mendidik, bukan karena motif-motif1ain, seperti dendam, gengsi, ingin ditakuti, dan sebagainya.Anak didik yang telah melakukan kesalahan, yakni membuat keributan di kelas ketika guru sedang memberikan pelajaran, misalnya, tidak tepat diberikan sanksi hukum dengan cara memukul badannya hingga luka atau cidera. Ini adalah tindakan sanksi hukum yang tidak bernilai pendidikan. Guru telah melakukan pendekatan yang salah. Guru telah menggunakan teori power, yakni teori kekuasaan untuk menundukkan orang lain. Dalam pendidikan, guru akan kurang arif dan bijaksana bila menggunakan kekuasaan, karena hal itu bisa merugikan pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak didik. Pendekatan yang benar bagi guru adalah dengan melakukan pendekatan edukatif. Setiap tindakan, sikap, dan perbuatan yang guru lakukan harus bernilai pendidikan, dengan tujuan untuk mendidik anak didik agar menghargai norma hukum, norma susila, norma moral, noram sosial, dan norma agama.
Cukup banyak sikap dan perbuatan yang harus guru lakukan untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada anak didik. Salah satu contohnya, misalnya, ketika lonceng tanda masuk kelas telah berbunyi, anak-anak jangan dibiarkan masuk dulu, tetapi suruhlah mereka bebaris di depan pintu masuk dan perintahkanlah ketua kelas untuk mengatur barisan. Semua anak perempuan berbaris dalam kelompok jenisnya. Demikian juga semua anak laki-laki, berbaris dalam kelompok sejenisnya. Jadi, barisan dibentuk menjadi dua dengan pandangan terarah ke pintu masuk. Di sisi pintu masuk guru berdiri sambi! mengontrol bagaimana anak-anak berbaris di depan pintu masuk kelas. Semua anak dipersilakan masuk oleh ketua kelas. Mereka pun satu per satu masuk kelas, mereka satu per satu menyalami guru dan mencium tangan guru sebelum dilepas. Akhirnya, semua anak masuk dan pelajaran pun dimulai.
Contoh di atas menggambarkan pendekatan edukatif yang telah dilakukan oleh guru dengan menyuruh anak didik berbaris di depan pintu masuk kelas. Guru telah meletakkan tujuan untuk membina watak anak didik dengan pendidikan akhlak yang mulia. Guru telah membimbing anak didik, bagaimana cara memimpin kawan-kawannya dan anak-anak lainnya, membina bagaimana cara menghargai orang lain dengan cara mematuhi semua perintahnya yang bernilai kebaikan. Betapa baiknya jika semua sekolah (TK, SO atau SLTP) melakukan hal yang demikian itu. Mungkin kewibawaan guru yang dirasakan mulai memudar sekarang ini dapat dimunculkan kembali dan tetap melekat pada pribadi guru. Sekaranglah saatnya mengedepankan pendidikan kepribadian kepada anak didik dan jangan hanya pendidikan intelektual serta keterampilan semata, karena akan menyebabkan anak tumbuh sebagai seorang intelektual atau ilmuwan yang berpribadi kering.
Guru yang hanya mengajar di kelas, belum dapat menjamin terbentuknya kepribadian anak didik yang berakhlak mulia. Demikian juga halnya dengan guru yang mengambil jarak dengan anak didik. Kerawanan hubungan guru dengan anak didik disebabkan komunikasi antara guru dengan anak didik kurang berjalan harmonis. Kerawanan hubungan ini menjadi kendala bagi guru untuk melakukan pendekatan edukatif kepada anak didik yang bermasalah.
Guru yang jarang bergaul dengan anak didik dan tidak mau tahu dengan masalah yang dirasakan anak didik, membuat anak didik apatis dan tertutup atas apa yang dirasakannya. Sikap guru yang demikian kurang dibenarkan dalam pendidikan, karena menyebabkan anak didik menjadi orang yang introver (tertutup).
Kasuistis yang terjadi di sekolah biasanya tidak hanya satu, tetapi bermacam-macam jenis dan tingkat kesukarannya. Hal ini menghendaki pendekatan yang tepat. Berbagai kasus yang terjadi, selain ada yang dapat didekati dengan pendekatan individual,adajuga yang dapat didekati dengan pendekatan kelompok, dan ada pula yang dapat didekati dengan pendekatan bervariasi. Namun yang penting untuk diingat adalah bahwa pendekatan individual harus berdampingan dengan pendekatan edukatif; pendekatan kelompok harus berdampingan dengan pendekatan edukatif, dan pendekatan bervariasi harus berdampingan dengan pendekatan edukatif. Dengan demikian, semua pendekatan yang dilakukan guru harus bemilai edukatif, dengan tujuan untuk mendidik. Tindakan guru karena dendam, marah, kesal, benci, dan sejenisnyabukanlah termasuk perbuatan mendidik, karena apa yang guru lakukan itu menurutkan kata hati atau untuk memuaskan hati.
Selain berbagai pendekatan yang disebutkan di depan, ada lagi pendekatan-pendekatan lain. Berdasarakan kurikulum atau Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Pendidikan Agama Islam SLTP Tahun 1994 disebutkan lima macampendekatan untuk pendidikan agama Islam, yaitu pendekatan pengalaman, pendekatan pembiasaan, pendekatan emosional, pendekatan rasional, dan pendekatan fungsional. Kelima macam pendekatan ini diajukan, karena pendidikan agama Islam di sekolah umum dilaksanakan melalui kegiatan intra dan ekstra kurikuler yang satu sama lainnya saling menunjang dan saling melengkapi. Kelima pendekatan tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1.   Pendekatan Pengalaman
Experience is the best teacher, pengalaman adalah guru yang terbaik. Pengalaman adalah guru bisu yang tidak pernah marah. Pengalaman adalah guru yang tanpa jiwa, namun selalu dicari oleh siapa punjuga. Belajar dari pengalaman adalah lebih baik daripada sekadar bicara, dan tidak pemah berbuat sama sekali. Belajar adalah kenyataan yang ditunjukkan dengan kegiatan fisiko Karena itu, the proses of learning is doing, reacting, undergoing, experiencing. The products of learning are all achieved by the learner through his own activity. (H.C. Witherington dan W.H. Burton, 1986: 57).
Meskipun pengalaman diperlukan dan selalu dicari selama hidup, namun tidak semua pengalaman tidak bersifat mendidik (edukative ex­ perience), karena ada pengalaman yang tidak bersifat mendidik (misedukative experience). Suatu pengalaman dikatakan tidak mendidik, jika guru tidak membawa anak ke arah tujuan pendidikan, akan tetapi menyelewengkan dari tujuan itu, misalnya "mendidik anak menjadi pencopet." Karena itu, ciri-ciri pengalaman yang edukatif adalah berpusat pada suatu tujuan yang berarti bagi anak (meaningful), kontinu dengan kehidupan anak, interaktif dengan lingkungan, dan menambah integrasi anak. Demikianlah pendapat Witherington.
2.   Pendekatan Pembiasaan
Pembiasaan adalah alat pendidikan. Bagi anak yang masih kecil, pembiasaan ini sangat penting. Karena denganpembiasaan itulahakhimya suatu aktivitas akan menjadi milik anak di kemudian hari. Pembiasaan yang baik akan membentuk suatu sosok manusia yang berkepribadian yang baik pula. Sebaliknya, pembiasaan yang buruk akan membentuk sosok manusia yang berkepribadian yang buruk pula. Begitulah biasanya yang terlihat dan yang terjadi pada diri seseorang. Karenanya, di dalam kehidupan bermasyarakat,kedua kepribadian yang bertentanganini selalu ada dan tidak jarang terjadi konflik di antara mereka.
Anak kecil tidak seperti orang dewasa yang dapat berpikir abstrak. Anak kecil hanya dapat berpikir konkret Kata-kata seperti kebijaksanaan, keadilan, dan perumpamaan,adalah contoh kata benda abstrakyang sukar dipikirkanoleh anak. Anak kecil belum kuat ingatannya,ia lekasmelupakan apa yang sudah dan baru terjadi. Perhatian mereka lekas dan mudah beralih kepada hal-hal yang baru, yang lain, yang disukainya.
3.   Pendekatan Emosional
Emosi adalah gejala kejiwaan yang ada di dalam diri seseorang. Emosi berhubungan dengan masalah perasaan. Seseorang yang mempunyai perasaan pasti dapat merasakan sesuatu, baik perasaan jasmaniah maupun perasaan rohaniah. Perasaan rohaniah di dalamnya ada perasaan intelektual, perasaan estetis, perasaan etis, perasaan sosial, dan perasaan harga diri. Menurut Chalijah Hasan merasa adalah aktualisasi kerja dari hati sebagai materi dalam struktur tubuh manusia, dan merasa sebagai aktivitas kejiwaan ini adalah suatu pemyataan jiwa yang bersifat subjektif. Hal ini dilakukan dengan mengemukakan suatu kesan senang atau tidak senang, dan umumnya tidak tergantung pada pengamatan yang dilakukan oleh indra.
Perasaan, menurut Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono sebagai fungsi jiwa untuk dapat mempertimbangkan dan mengukur sesuatu menurut "rasa senang dan tidak senang", mempunyai sifat-sifat senang dan sedih/tidak senang, kuat dan lemah, lama dan sebentar, relatif, dan tidak berdiri sendiri sebagai pernyataan jiwa.
4.   Pendekatan Rasional
Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh sang Maha Pencipta, yaitu Allah swt. Manusia adalah makhluk yang sempuma diciptakan. Manusia berbeda dengan makhluk lainnya yang diciptakan oleh Tuhan. Perbedaannya terletak pada akal Manusia mempunyai akal, sedangkan makhluk lainnya seperti binatang dan sejenisnya tidak mempunyai akal. Jadi, hanya manusialah yang dapat berpikir, sedangkan makhluk lainnya tidak mampu berpikir.
Dengan kekuatan akalnya manusia dapat membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk, mana kebenaran dan mana kedustaan dari sesuatu ajaran atau perbuatan. Dengan akal pula dapat membuktikan dan membenarkan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Pencipta atas segala sesuatu di dunia ini. Walaupun disadari keterbatasan akal untuk memikirkan dan memecahkan sesuatu, tetapi diyakini pula bahwa dengan akal dapat dicapai ketinggian ilmu pengetahuan dan penghasilan teknologi modern. Itulah sebabnya manusia dikatakan sebagai homo sapien, semacam makhluk yang berkecenderungan untuk berpikir.
5.   Pendekatan Fungsional
Ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh anak di sekolah bukanlah hanya sekadar pengisi otak, tetapi diharapkan berguna bagi kehidupan anak, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosia!. Anak dapat memanfaatkan ilmunya untuk kehidupan sehari-hari sesuai dengan tingkat perkembangannya. Bahkan yang lebih penting adalah ilmu pengetahuan dapat membentuk kepribadian anak. Anak dapat merasakan manfaat dari ilmu yang didapatnya di sekolah. Anak mendayagunakan nilai guna dari suatu ilmu sudah fungsional di dalam diri anak.
Pelajaran agama yang diberikan di kelas bukan hanya untuk memberantas kebodohan dan pengisi kekosongan intelektual, tetapi untuk diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Hal yangdemikian itulah yang pada akhimya hendak dicapai oleh tujuan pendidikan agama di sekolah dalam berbagaijenis dan tingkatan. Karena itu, kurikulum pun disusun sesuai dengan kebutuhan siswa di masyarakat.
6.   Pendekatan Keagamaan
Pendidikan dan pelajaran di sekolah tidak hanya memberikan satu atau dua macam mata pelajaran, tetapi terdiri dari banyak mata pelajaran. Semua mata pelajaran itu pada umumnya dapat dibagi menjadi mala pe/ajaran umum dan mala pelajaran agama Berbagai pendekatan dalam pembahasan terdahulu dapat digunakan untuk keduajenis mata pelajaran ini. Tentu saja penggunaannya tidak sembarangan, tetapi harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang dicapai. Dalam praktiknya tidak hanya digunakan satu, tetapi bisa juga penggabungan dua atau lebih pendekatan.
Khususnya untuk mata pelajaran umum, sangat berkepentingan dengan pendekatan keagamaan. Hal lni dimaksudkan agar nilai budaya ilmu itu tidak sekuler, tetapi menyatu dengan nilai agama. Dengan penerapan prinsip-prinsip mengajar seperti prinsip korelasi dan sosialisasi, guru dapat menyisipkan pesan-pesan keagamaan untuk semua mata pelajaran umum. Tentu saja guru harus menguasai ajaran-ajaran agama yang sesuai dengan mata pelajaran yang dipegang. Mata pelajaran biologi, misalnya, bukan terpisah dari masalah agama, tetapi ada hubungannya. Cukup banyak dalil agama yang membahas masalah biologi. Persoalannya sekarang terletak, mau atau tidaknya guru mata pelajaran tersebut mencari dan menggali dalil-dalil dimaksud dan menafsirkannya guna mendukung penggunaan pendekatan keagamaan dalam pendidikan dan pengajaran. Surah Yaasiin, ayat 34, dan ayat 36, adalah bukti nyata bahwa pelajaran biologi tidak bisa dipisahkan dari ajaran agama. Surah Yaasiin ayat 37, 38,39, dan 40 adalah dalil-dalil nyata pendukung pendekatan keagamaan dalam mata pelajaran fisika.
Akhirnya, pendekatan agama dapat membantu guru untuk memperkecil kerdilnya jiwa agama di dalam diri siswa, yang pada akhirnya nilai-nilai agama tidak dicemoohkan dan dilecehkan, tetapi diya­ kini, dipahami, dihayati, dan diamalkan selama hayat siswa di kandung badan.
7.   Pendekatan Kebermaknaan
Bahasa adalah alat untuk menyampaikan dan memahami gagasan pikiran, pendapat, dan perasaan, secara lisan maupun tulisan. Bahasa Inggris adalah bahasa asing pertama di Indonesia yang dianggap penting untuk tujuan penyerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya, dan pembinaan hubungan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Dalam rangka penguasaan bahasa Ingrris tidak bisa mengabaikan masalah pendekatan yang harus digunakan dalam proses belajar mengajar. Kegagalan penguasaan bahasa Inggris oleh siswa, salah satu sebabnya adalah kurang tepatnya pendekatan yang digunakan oleh guru selain faktor lain seperti faktor sejarah, fasilitas, dan lingkungan serta kompetensi guru itu sendiri. Kegagalan pengajaran tersebut tentu saja tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena akan menjadi masalah bagi siswa dalam setiap jenjang pendidikan yang dimasukinya. Karenanya perlu dipecahkan. Salah satu alternatif ke arah pemecahan masalah tersebut diajukanlah pendekatan baru, yaitu pendekatan kebermaknaan. Beberapa konsep penting yang menyadari pendekatan ini diuraikan sebagai berikut:
a)    Bahasa merupakan alat untuk mengungkapkan makna yang diwujudkan malalui struktur (tata bahasa dan kosa kata). Dengan demikian, struktur berperan sebagai alat pengungkapan makna (gagasan, pikiran, pendapat, dan perasaan).
b)   Makna ditentukan oleh lingkup kebahasaan maupun lingkup situasi yang merupakan konsep dasar dalam pendekatan kebermaknaan pengajaran bahasa yang natural, didukung oleh pemahaman lintas budaya.
c)    Makna dapat diwujudkan melalui kalimat yang berbeda, baik secara lisan maupun tertulis. Suatu kalimatdapat mempunyai makna yang berbeda tergantung pad a situasi saat kalimat itu digunakan. Jadi keragaman ujaran diakui keberadaannya dalam bentuk bahasa lisan atau tertulis.
d)   Belajar bahasa asing adalah belajar berkomunikasi melalui bahasa tersebut, sebagai bahasa sasaran, baik secara lisan maupun tertulis. Belajar berkomunikasi ini perlu didukung oleh pembelajaran unsur­ unsur bahasa sasaran.
e)    Motivasi belajar siswa merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan belajamya. Kadar motivasi ini banyak ditentukan oleh kadar kebermaknaan bahan pelajaran dan kegiatan pembelajaran memiliki siswa yang bersangkutan. Dengan kata lain, kebermaknaan bahan pelajaran dan kegiatan pembelajaran memiliki peranan yang amat penting dalam keberhasilan belajar siswa.
f)    Bahan pelajaran dan kegiatan pembelajaran menjadi lebih bermakna bagi siswajika berhubungan dengan pengalaman, minat, tata nilai, dan masa depannya. Karena itu, pengalaman siswa dalam lingkungan, minat, tata nilai, dan masa depannya harus dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan pengajaran dan pembelajaran untuk membuat pelajaran lebih bermakna bagi siswa.
g)   Dalam proses belajar-mengajar, siswa merupakan subjek utama, tidak hanya sebagai objek belaka. Karena itu, ciri-ciri dan kebutuhan mereka harus dipertimbangkan dalam segala keputusan yang terkait dengan pengajaran.
h)   Dalam proses belajar-mengajar guru berperan sebagai fasilitatoryang membantu siswa mengembangkan keterampilan berbahasanya.[9]



E.   Relevansi Metode dengan Bahan Pelajaran
Dalam proses belajar mengajar, seorang guru harus menyampaikan atau mengajarkan sesuatu bahan pada murid. Bahan (subject metter) itu biasanya meliputi pengetahuan, keterampilan sikap dan norma atau nilai-nilai yang diharapkan dimiliki dan diamalkan. Pada sebagian madrasah, terutama pada masa silam bahkan juga sampai sekarang, kurikulum masih dalam bentuk subject metter dan sementara itu dikalangan guru masih terdapat pandangan yang berbeda terhadap kurikulum semacam itu. Ada yang berpendapat bahwa bahan pelajaran itu mengandung nilai-nilai instrinsik dan harus dipelajari untuk kepentingan nilai itu sendiri. Sebagian lagi beranggapan bahwa bahan pelajaran itu diajarkan untuk dimanfaatkan atau dengan kata lain nilainya tergantung pada penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Pihak lain beranggapan bahwa bahan pelajaran itu adalah sebagai alat saja untuk menegambangkan kemampuan intelektual, keterampilan, norma dan sikap.
Perbedaan pandangan tersebut diatas sebenarnya tidak perlu terjadi kalau kita memeperhatikan tujuan sekolah atau madrasah pada umumnya. Madrasah bertujuan untuk membentuk pribadi muslim dengan memperlengkapi siswa berbagai pengetahuan termasuk pengetahuan agama, dan keterampilan-keterampilan. Jelaslah bahwa pelajaran itu adalah sebagai alat yang sangat penting, yaitu alat untuk mencapai tujuan; alat yang digunakan oleh guru dan murid untuk tujuan yang suci yaitu membentuk pribadi yang muslim. Hal itu dapat dicapai bila bahan pelajaran yang dipelajari disajikan dengan cara yang wajar dengan memperhatikan juga faktor murid dan situasi. Bahan dipelajari secara wajar bila murid mengolah bahan itu melalui proses penemuan berpikir kreatif, kerjasama dan merealisasi kemampuan diri sendiri.
Bahan pelajaran agama tidak diragukan lagi penuh mengandung nilai-nilai bagi pembentukan pribadi muslim tetapi kalau dibiarkan dengan cara yang kurang wajar misalnya anak diseruh menghafal secara mekanis apa yang disampaikan oleh guru atau yang terdapat didalam buku-buku pelajaran, tidak mustahil akan timbul pada diri anak murid ras tidak senang pada pelajaran agama dan mungkin juga tidak senang dengan guru agamnya. Oleh karena bahan yang akan dipelajari mempunyai sifat yang berbeda satu dengan yang lainnya,maka untuk setiap jenis bahan memerlukan jenis belajar sendiri. Pada uumnya dikenal jenis bahan dan jenis belajar yang sesuai dengannya seperti tersebut dibawah ini.
1.   Bahan yang memerlukan pengamatan
Pengetahuan yang dimiliki oleh anak umumnya diperoleh melelui alat indra atau melalui pengamatan baik langsung maupun tidak langsung. Alat indra dalam hal ini memegang peranan yang penting, ketidak sempurnaan atau ketidak pekaan suatu alat indra akan menyebabkan pengamaatan tidak sempurna dan hasil belaja menjadi berkurang.Dengan mendengar uraian guru (jadi pengamatan melalui indra pendengar) murid dapat mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan shalat jumat. Begitu juga dengan melalui membaca (pengamatan melalui indra penglihat), melihat orang sembahyang Jum’at atau melihat fil tentang orang shalat jum’aht anak memperoleh pengetahuan shlat jum’aht. Dari contoh tersebut diatas jelas bahwa metode yang relevan untuk bahan tersebut adalah metode ceramah, atau metode resitasi atau metode proyek (dalam hal ini proyek tentang shlat jum’at). Yang ditekankan pada bahan tersebut adalah segi pengetahuannya edang unuk keterampilan melakukn shlat Jum’at termauk Khhatib memerlukn jenis belajar yang lain dn metode yang lain pula.
2.   Bahan yang memerlukan keterampilan atau gerakan tertentu
Untuk menguasi bahan sejenis ini seseorang terutama harus belajar secara motoris (motor type of learning). Mungkin jenis belajar melalui pengamatan perlu juga tetapi tidak sepenting belajar motoris.Contoh : bahan pelajaran membaca Al-Quran dengan baik.
Dalam hal ini juga diperlukan belajar motoris yaitu menguasai keterampilan-keterampilan dalam hal hgerakan mulut dan lidah, pengaturan pernahfasan dan suara. Metode yangrelevan untuk bahan-bahan tersebut dalah metode demonstrasi dan dril.
3.   Bahanyang mengandung materi hafalan.
Bahan pelajaran agama jenis ini termasuk cukup banyak hdan segera harus diketahui hdan dihafalkan karena akan digunkan hdalam beribadah dan beramal. Disamping itu juga untuk keperluan ujian khususnya exhternal education. Untuk mempelajari bahan hafalan,ini diperlukan jenis belajar menghafalan (memory type of learning). Belajar menghafal sering menimbulkan penyakit verbalisme yaitu anak tahu menyebutkan kata-kata, definisi, rumus dan sebagainya tetapi tidak dipahami. Penyakit lain yang sering dijumpai akibat belajar menghafal ini ialah intelektualihtas penguasaan pengetahuan sebanyak-banyaknya dari buku pelajaran tanpa menghubungkannya dengan realitas dalam kehidupan sehari-hari.Untuk menghindarkan anak dari penyakit tersebut, perlu diperhatikan prinsip-prinsip berikut ini :
-       Bahan yang akan dihafalkan hendaknya diusahakan agar dipahami benar-benar oleh anak.
-       Bahan hafalan hendaknya merupkan suatu kebulatan (keseluruhan dan bukan fakta yang lepas ).
-       Bahan yang hendak dihafal hendaknya dihgunakan secara fungsional dalam situasi tertentu.
-       Active recall hendaknya senantiasa dilakukan.
-       Metode keseluruhan atau metode bagian hyang digunakan tergantung pada sifat bahan.
4.   Bahan yang Mengandung Unsur Emosi
Kalau dalam bagian yang lalu telah dibicarakan jenis bahan yang mengandung unsur pengetahuan dan keterampilan, maka pada bagian ini akan dilanjutkan dengan bahan yang mengandung unsur emosi seperti kejujuran, keberanian, kesabaran, kegembiraan, kasih sayanh hdan sebagainya. Bahan seperti ni memerlukan jenis belajar tersendiri yang disebut emotion type learning.Dibandingkan dengan jenis belajar yang lai, jenis emosi ini belum mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Hal itu mungkin disebabkan oleh karena jenis belajar ini kurang dipahami hdan pelaksanaanya tidak mudah. Kurikulum pendidikan agama memuat bahan yag khusus unuk membentuk sifat-sifat tersebut, walaupun sifat itu dapat juga dicapai pada setiap bidang studi selain pendidikan agama. Contoh : akhlak terhadap diri sendiri.bahan yang akan dipelajari adalah sifat sabar, pemaaf, pemurah dan menjauhi sifat dendam dan sebagainya. Untuk mencapai sifat tersebut guru harus mengusahan agar anak memperoleh pengalaman sebanyak-banyaknya. Jadi dengan menggunakan metode sosiodrama/bermain peranan da service project. Hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaanya adalah :
-       Harus ada pada anak suatu ide tentang sifat sabar, pemaaf dan sebagainya yang timbul karena pengalaman,baik didalam kelas maupun diluar kelas. Memberitahukan sifat-sifat terpuji kepada anak tidak banyak manfaatnya dan cenderung verbalistis.
-       Timbulkan emosi pada diri anak, yaitu ia merasa bahwa sifat itu baik atau tidak baik.
-       Sifat-sifat itu harus dilatih, dilaksanakan dalam perbuatan. Sehubungan dengan hitu faktor situasi sekolah termasuk kepribadian guru, situasi lingkungan dan keluarga sangat besar artinya.[10]


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pendekatan pembelajaran dapat berarti titik tolak atau sudut pandang terhadap proses pembelajaran atau merupakan gambaran pola umum perbuatan guru dan peserta didik di dalam perwujudan kegiatan pembelajaran, yang berusaha meningkatkan kemampuan-kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa dalam pengolahan pesan sehingga tercapai sasaran belajar.
Paradigma pendikan yang digunakan sekarang ini bukanlah paradigma dimana pembelajar diibaratkan sebagai  mengisi air ke dalam gelas, melainkan guru bertindak sebagai guru yang memotivasi dan menginspirasi agar berbagai potensi yang dimiliki peserta didik itu dapat diexplorasi dengan upayanya sendiri. Paradigma pendidikan  yang demikiaan itu, menempatkan guru sebagai “seorang bidan” yang membantu melahirkan seorang ibu hamil. Guru hanya membantu peserta didik agar dapat mengaktualisasikan potensi yang di milikinya.
Dalam kegiatan belajar mengajar yang berlangsung telah terjadi interaksi yang bertujuan. Guru dan anak didiklah yang menggerakkannya. Ketika kegiatan belajar mengajar itu berproses, guru harus dengan ikhlas dalam bersikap dan berbuat, serta mau memahami anak didiknya dengan segala konsekuensinya. Hal ini akan mempengaruhi pendekatan yang guru ambil dalam pengajaran. Pendekatan yang tepat maka akan berlangsung belajar mengajar yang menyenangkan.
Dalam proses belajar mengajar, seorang guru harus menyampaikan atau mengajarkan sesuatu bahan pada murid. Dalam bahan yang akan guru ajarkan pasti mempunyai sifat yang berbeda satu dengan yang lainnya,maka untuk setiap jenis bahan memerlukan jenis belajar sendiri. DiantaranyaBahan yang memerlukan pengamatan, Bahan yang memerlukan keterampilan atau gerakan tertentu, Bahan yang mengandung materi hafalan, Bahan yang Mengandung Unsur Emosi.
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin nata Perspektif islam tentang strategi pembelajaran, jakarta : Prenada Media Group : 2009.
M. Basyruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam. Cet I. Jakarta.  Ciputat Pers, 2002.
Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam. Cet ketiga. Jakarta. Kalam Mulia, 2001.
Syaiful Bahri Djamarah, Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta. Rineka Cipta, 2010.
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta. PT Raja Grapindo Persada, 2005.

Zakiah Daradjat, dkk, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta. Bumi Aksara,1996.
. 16 Maret 2014.




[1] Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2005). Hlm. 50-51.
[2] Ibid., hlm. 52.
[3] M. Basyruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam. Cet I (Jakarta: Ciputat Pers, 2002). Hlm 121.
[4] Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam. Cet ketiga.(Jakarta: Kalam Mulia, 2001). Hlm104.
[5] Abuddin nata, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran,jakarta : Prenada media group : 2009, hlm: 147-151
[6] Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 153
[7]Ibid,…hlm. 155-156
[8]Ibid,…hlm. 159
[9] Syaiful Bahri Djamarah, Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, jakarta: Rineka Cipta, 2010. Hlm. 58-71.
[10] Zakiah Daradjat, dkk, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta : Bumi Aksara,1996, h.261-265

5 komentar: