Rabu, 15 April 2015

PENDIDIKAN ISLAM



PENDIDIKAN ISLAM DALAM RUMAH TANGGA DAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM MASYARAKAT.
A.  Pendidikan islam
Islam yang memiliki sifat universal dan kosmopolit dapat merambah ke ranah kehidupan apa pun, termasuk dalam ranah pendidikan. Ketika islam dijadikan sebagai paradigma ilmu pengetahuan paling tidak berpijak pada tiga alasan. Pertama, ilmu pendidikan sebagai ilmu humoniora tergolong ilmu normatif, karena ia terkait oleh norma-norma tertentu. Pada taraf ini, nilai-nilai islam yang sangat berkompeten untuk dijadikan norma dalam ilmu pendidikan. Kedua, dalam menganalisis masala pendidikan, para ahli selama ini cenderung mengambil teori-teori dalam falsafah pendidikan barat. Falsafah pendidikan barat lebih bercorak sekuler yang memisahkan berbagai dimensi kehidupan, sedangkan masyarakat indonesia lebih bersifat religius. Atas dasar itu, nilai-nilai ideal islam sangat memungkinkan untuk dijadikan acuan dalam mengkaji fenomena kependidikan. Ketiga, dengan menjadikan islam sebagai paradigma, maka keberadaan pendidikan agama islam memiliki ruh yang dapat menggerakkan kehidupan spritual dan kehidupan yang hakiki. Tanpa ruh ini berarti pendidikan telah kehilangan ideologinya.
Makna islam sebagai paradigma ilmu pendidikan adalah suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas ilmu pendidikan sebagaimana islam memahaminya. Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh nilai-nilai islam dengan tujuan agar kita memiliki hikmah (wisdom) yang atas dasar itu dibentuk praktik pendidikan yang sejalan dengan nilai-nilai normatif islam. Pada taraf ini, paradigma islam menuntut adanya desain besar tentang ontologi, epistemologi dan aksiologi pendidikan. Fungsi paradigma ini pada dasarnya untuk membangun perspektif islam dalam rangka memahami realitas ilmu pendidikan. Tentunya hal itu harus ditopang oleh konstruks pengetahuan yang menempatkan wahyu sebagai sumber utamanya, yang pada gilirannya terbentuk struktur transendental sebagai referensi untuk menafsirkan realitas pendidikan.
Islam sebagai paradigma ilmu pendidikan juga memiliki arti konstruksi sistem pendidikan yang didasarkan atas nilai-nilai universal islam. Bangunan sistem ini tentunya berpijak pada prinsip-prinsip hakiki, yaitu prinsip al-tauhid, prindip kesatuan makna kebenaran dan prinsip kesatuan sumber sistem. Dari prinsip-prinsip tersebut selanjutnya diturunkan elemen-elemen pendidikan sebagai word view islam, (pandangan dunia islam) terhadap pendidikan.[1]
Muhammad Fadil Al-Djamaly, menyatakan pendidikan islam adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan mengangkat derajat kemanusiaannya, sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarnya (pengaruh dari luar). Imam Bawani menyatakan bahwa pendidikan islam adalah bimbingan jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum agama islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran islam.[2]
Di era globalisasi pendidikan islam sangat diperlukan. Hal ini didasarkan pada beberapa catatan argumentatif sebagai berikut: Pertama,  secara sosiologi agama besar pada masa awal kelahirannya selalu tampil sebagai gerakan kritik terhadap berbagai bentuk pelecehan hak-hak asasi manusia yang terjadi dalam masyarakat. Figur semacam Musa, Isa, dan Muhammad Saw, tidak saja dikenal oleh sarjana sebagai peletak agama besar dunia, tetapi juga sebagai pejuang hak asasi manusia yang amat gigih dan tidak kenal kompromi. Misi ajaran isam yang demikian itu masih amat dibutuhkan umat manusia saat ini. Hal ini didasarkan pada kenyataan, bahwa praktik pelecehan hak-hak asasi manusia pada saat ini masih terus menjadi, bahkan cenderung meningkat. Hanya pada berpegangan pada ajaran agamalah berbagai tindakan yang merugikan dapat dihentikan, sebagaimana hal yang demikian itu telah dibuktikan oleh para nabi terdahulu pada umumnya, dan oleh nabi Muhammad Saw. Pada khususnya, pada lima belas abad yang lalu. Kedua, Secara akademik, islam merupakan ajaran yang paling dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, Al-Qur’an dan al-hadits sebagai seumber utama ajaran islam misalnya, merupakan dokumen ilahiyah yang isinya secara akademik merupakan firman Allah. Hal ini dapat dibuktikan dengan kesesuain isyarat-isyarat Al-Qur’an dan al-hadis dengan temuan para sejarawan dan arkeologi, kesesuain isyarat-isyarat al-qur’an dan hadits dengan isyarat-isyarat ilmiah, serta masa turunya Al-Qur’an dan datangnya al-hadis juga padat dibuktikan dengan para saksi atau informan yang dapat dipercaya. Dengan kata lain, bahwa ajaran islam dengan sumber utamanya Al-Qur’an dan Hadis adalah ajaran yang diperuntukkan bagi umat manusia yang berbudaya dan beradab sepanjang jaman. Ketiga, secara psikologi, islam merupakan ajaran yang paling sesuai dengan kebutuhan fitrah manusia. Keutuhan manusia dalam bidang pemeriharaan jiwa, pemeriharaan akal, pemeriharaan agama, pemeliharaan keturunan, dan pemeriharaan harta, mendapatkan perhatian yang sangat sungguh-sungguh dalam ajaran islam.[3]
B.  Pendidikan islam dalam rumah tangga
Setiap orang tua tentu mengngkinkan anaknya menjadi orang yang berkembang secara sempurna. Meraka menginginkan anaknya yang dilahirkan itu kelak menjadi orang yang sehat, kuat, berketerampilan, cerdas, pandai, dan beriman. Bagi muslim, beriman itu adalah beriman secara islam. Dalam taraf sederhana, orang tua tidak ingin anaknya menjadi lemah, sakit-sakitan, bodoh, nakal, dan menjadi pengangguran.
Untuk menjadi tujuan ini, orang tualah yang menjadi pendidik pertama dan utama. Kaidah ini ditetapkan secara kodrati; artinya, orang tua tidak dapat berbuat lain, mereka harus menempati posisi itu dalam keadaan bagaimanapun juga. Mengapa? Karena mereka ditakdirkan menjadi orang tua anak yang dilahirkannya. Oleh karena itu, mau tidak mau mereka harus menjadi penanggung jawa pertama dan utama. Kaidah ini diakui oleh semua agama dan semua dan semua agama dan semua sistem nilai yang dikenal manusia. Sehubungan dengan tugas serta tanggung jawab itu maka ada baiknya orang tua mengetahui sedikit mengenai apa dan bagaimana pendidikan dalam rumah tangga. Pengetahuan ini sekurang-kurangnya dapat menjadi penentu, rambu-rambu bagi orang tua dalam menjalankan tugasnya.
Tujuan pendidikan dalam rumah tangga adalah agar anak mampu berkembang secara maksimal. Itu meliputi seluruh aspek perkembangan anaknya, yaitu jasmani, akal, dan ruhani. Tujuan lain adalah membantu sekolah  atau lembaga kursus dalam mengembangkan pribadi anak didiknya. Yang bertindak sebagai pendidik dalam pendidikan dalam ruma tangga adalah ayah dan ibu anak serta semua orang yang merasa bertanggung jawab terhadap perkembangan anak itu seperti kakek, nenek, paman bibi, dan kakak. Yang paling bertanggung jawab adalah ayah dan ibu. Yang menduduki posisi anak didik dalam rumah tangga adalah si anak. Sekalipun demikian, sebenarnya semua anggota keluarga adalah anak didik juga, tetap dilihat dari segi pendidikan anak dalam rumah tangga, yang menjadi si terdidik adalah anak.[4]
Apakah ada kurikulum (bahan pendidikan) bagi pendidikan dalam rumah tangga? Ada, tetapi tidak tegas seperti kurikulum pendidikan di sekolah. Kurikulum itu dalam garis besarnya adalah kurikulum untuk pengembangan jasmani dan keterampilan, kurikulum untuk pengembangan  akal, dan kurikulum untuk pengembangan ruhani anak. Kurikulum ini mengacu kepada teori tentang aspek-aspek kepribadian dalam garis besar.
Orang tua harus memperhatikan perkembangan jasmani anaknya. Ini menyangkut kesehatan dan kekuatan badan serta keterampilan otot. Pendidikan bukan terutama dilakukan dengan cara memberikan teori-teori kesehatan dan kekuatan. Yang dilakukan orang tua adalah menanamkan dan membiasakan hidup sehat: makanan bergizi dan berkalori yang cukup, keteraturan makan dan minum, arti istirahat bagi kesehatan jika orang tua secara teratur gerak badan pagi, maka itu sudah dapat merupakan sebagian dari pendidikan jasmani dalam rumah tangga.[5]
C.  Pendidikan islam dalam masyarakat
Masyarakat turut serta memikul tanggung jawab pendidikan. Secara sederhana masyarakat dapat diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kebudayaan dan agama. Setiap masyarakat mempunyai cita-cita, peraturan-peraturan dan sistem kekuasaan tertentu. Masyarakat, besar pengaruhnya dalam memberi arah terhadap pendidikan anak, terutama para pemimpin masyarakat atau penguasa yang ada di dalamnya. Pemimpin masyarakat muslim tertentu saja menghendaki agar setiap anak didik menjadi anggota yang taat dan patuh menjalankan agamanya, baik dalam lingkungan keluarganya, anggota sepermainannya, kelompok kelasnya dan sekolahnya. Bila anak telah besar diharapkan menjadi anggota yang baik pula sebagai warga desa, warga kota, dan warga negara.
Dengan demikian, di pundak mereka terpikul keikutsertaan membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak. Ini berarti bahwa pemimpin dan penguasa dari masyarakat ikut bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Sebab tanggung jawab pendidik pada hakikatnya merupakan tanggung jawab moral dari setiap orang dewasa baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok sosial. Tanggung jawab ini ditinjau dari segi ajaran islam, secara implisit mengandung pula tanggung jawab pendidikan.
Prof. Dr. Oemar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, mengemukakan sebagai berikut: Di antara ulama-ulama mutakhir yang telah menyentuh persoalan tanggung jawab adalah Abbas Mahmud Al-Akkad yang menganggap rasa tanggung jawab sebagai salah satu ciri pokok bagi manusia pada pengertian Al-Qur’an dan Islam, sehingga dapat ditafsirkan manusia sebagai: “makhluk yang bertanggung jawab”. [6]
Allah berfrman:

  
“tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya”.

Asrama sebagai lingkungan pendidikan memiliki ciri-ciri antara lain; dalam waktu tertentu hubungan anak dengan keluarganya menjadi terputus atau dengan sengaja diputuskan dan untuk waktu tertentu pula anak-anak itu hidup bersama anak-anak sebayanya. Setiap asrama mempunyai suasana tersendiri yang amat diwarnai oleh para pendidik atau pemimpinnya dan oleh sebagian besar anggota kelompok dari mana mereka berasal. Demikian pula tatanan dan cara hidup kebersamaan sesama jenis kelamin dari penghuninya turut membentuk suasana asrama yang bersangkutan.[7]
Perkumpulan remaja
Pada umumnya anak-anak di atas umur 12 tahun membutuhkan perkumpulan-perkumpulan atau organisasi-organisasi yang dapat menyalurkan hasrat dan kegiatan yang meluap-luap dalam diri mereka.[8]







                                                                           


















DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, Cet pertama, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012.
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Cet kedua, Jakarta: Kencana, 2008.
Komaruddin Hidayat dkk, mereka bicara pendidikan islam, cet ke-1, Jakarta: PT Rajargapindo Persada, 2009.
Sudiyono, Ilmu pendidikan Islam, Cet pertama, Jakarta: Renika Cipta, 2009.
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi Dan Kompetensi. Ed. 1, Jakarta: PT Raja Grapindo Persada,2006.
Zakiah Maradjat, Ilmu pendidikan Islam, cet keempat, Jakarta: PT Bumi Askara, 2000. Hlm


[1] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Cet kedua, Jakarta: Kencana, 2008, Hlm 1-2
[2] Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi Dan Kompetensi. Ed. 1, Jakarta: PT Raja Grapindo Persada,2006. Hlm 9-10
[3] Komaruddin Hidayat dkk, mereka bicara pendidikan islam, cet ke-1, Jakarta: PT Rajargapindo Persada, 2009. Hlm 51-52.
[4] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, Cet pertama, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012, Hlm 239-240.
[5] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam. Hlm 241-242.
[6] Zakiah Maradjat, Ilmu pendidikan Islam, cet keempat, Jakarta: PT Bumi Askara, 2000. Hlm 44-45.
[7] Sudiyono, Ilmu pendidikan Islam, Cet pertama, Jakarta: Renika Cipta, 2009, Hlm. 156.
[8] Sudiyono, Ilmu pendidikan Islam. Hlm 158

Tidak ada komentar:

Posting Komentar