Selasa, 14 April 2015

sumber hukum islam



                                                                  BAB I       

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Ajaran agama islam merupakan ajaran yang menyempurnakan ajaran-ajaran yang terdahulu. Sebagaimana semua ajaran samawi yang diturunkan Allah swt sebenarnya adalah sama dan satu tujuan yang peng-Esa-an Allah swt sebagai rabbil alamin yaitu Tuhan Semesta Alam. Sebagai seorang muslim, kita harus mengetahui bahwa di dalam pengambilan suatu hukum harus terkait antara Al-Qur’an dan Hadis, karena sunah atau hadis adalah penjelasan apa-apa yang ada di dalam Al-Qur’an seperti, Allah swt menyeru kepada umat islam untuk mendirikan sholat, tetapi tidak secara rinci akan bagaimana pelaksanaannya, waktunya, dan caranya. Di sinilah peran penting hadis di dalam masyarakat atau penjelas akan makna yang tersirat tadi dengan yang lebih konkret. Dengan diparaktikkan langsung oleh Rasulullah saw tentang tata cara pelaksanaan sholat.
Para ulama bersepakat bahwa Sumber Hukum Islam itu ada dua yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Firman Allah swt :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ٥٩
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah  ia kepada Allah swt ( AL-Qur’an) dan  Rasul (sunah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian....”. ( QS. An-Nisa: 59)
Sabda Rasulullah swt :
Artinya: “Bersabda Rasulullah swt: Aku tinggalkan kepadamu sekalian dua perkara, apabila kamu berpegang teguh pada kedua perkara tersebut niscaya kamu tidak akan tersesat selama-lamanya, kedua perkara itu ialah Kitab Allah  (Al-Qur’an) dan Sunah Rasulullah (Hadis)”. ( HR. Bukhari dan Muslim)

B.       Rumusan Masalah
1.         Bagaimana cara Al-Qur’an diturunkan?
2.         Kenapa Al-Qur’an diturunkannya secara berangsur-angsur?
3.         Apa Pengertian Al-Qur’an?
4.         Bagaimana Kedudukan Dan Fungsi Al-Qur’an?
5.         Apa Pengertian As-Sunnah (Hadis)?
6.         Apa Fungsi Hadis?
7.         Bagaiman Pembagian Hadis?
8.         Apa Pengertian Ijtihad?
9.         Apa Metode Ijtihad
10.     Apa Syarat Berijtihad?

C.      Tujuan Penulisan
1.         Untuk Mengetahui cara Al-Qur’an diturunkan
2.         Untuk Mengetahui Kenapa Al-Qur’an diturunkannya secara berangsur-angsur
3.         Untuk Mengetahui Pengertian Al-Qur’an
4.         Untuk Mengetahui Kedudukan Dan Fungsi Al-Qur’an
5.         Untuk Mengetahui Pengertian As-Sunnah (Hadis)
6.         Untuk Mengetahui Fungsi Hadis
7.         Untuk Mengetahui Pembagian Hadis
8.         Untuk Mengetahui Pengertian Ijtihad
9.         Untuk Mengetahui Metode Ijtihad
10.     Untuk Mengetahui Syarat Berijtihad



BAB II
PEMBAHASAN

Sebelum kita lebih jauh membahas tentang sumber hukum islam, perlu kita ketahui dahulu bahwa ; Dalil menurut arti etimologi bahasa arab ialah : pedoman bagi apa saja yang Khissi (material) yang ma’nawi (spritual), yang baik maupun yang jelek. Adapun menurut istilah ahli ushul (terminologi) ialah : sesuatu yang dijadikan dalil, menurut perundangan yang benar, atas hukum syara’ mengenai perbuatan manusia, secara pasti (qath’i) atau dugaan (zhonni).
Menurut penyelidikan dapat dipastikan, bahwa dalili-dalil syari’ah yang diambil dari padanya, hukum-hukum amaliyah berpangkal kepada empat pokok, keempat dalil tersebut telah disepakati oleh jumhur (mayoritas tokoh) umat islam, sebagai dalil. Sepakat pula bahwa sitem penggunaan dalil dari keempat dalil tersebut, adalah menurut susunan seperti ini :
Pertama : Al-Qur’an
Kedua : Al-Sunnah
Ketiga : Al-Ijma’
Keempat : Al-Qiyas
A.      Turunnya Al-Qur’an
1.         Cara-cara Al-Qur’an diturunkan
Nabi muhammad saw, dalam hal menerima wahyu mengalami bermacam-macam cara dan keadaaan, di antaranya :
a.          Malaikat memasukkan wahyu itu kedalam hatinya. Dalam hal ini Nabi saw, tidak melihat sesuatu apapun, hanya beliau merasa bahwa itu sudah berada dalam kalbunya. Mengenai hal ini Nabi Muhammad sawmengatakan : “Ruhul qudus mewahyukan kedalam kalbuku”. [Q.S. Asy-Syuura (51)].[1]
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ ٱللَّهُ إِلَّا وَحۡيًا أَوۡ مِن وَرَآيِٕ حِجَابٍ أَوۡ يُرۡسِلَ رَسُولٗا فَيُوحِيَ بِإِذۡنِهِۦ مَا يَشَآءُۚ إِنَّهُۥ عَلِيٌّ حَكِيمٞ ٥١
Artinya : “Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana”. [Q.S. Asy-Syuura (51)].

b.        Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi berupa laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal benar akan kata-kata itu.
c.         Wahyu datang kepada Nabi seperti gemerincinnya lonceng. Cara inilah yang amat berat dirasakan oleh nabi. Kadang-kadang pada keningnya berpancaran keringat, meskipun turunya wahyu itu di musim dingin. Kadang-kadang unta beliau terpaksa berhenti dan duduk dan merasa amat berat, bila wahyu itu turun seketika beliau sedang mengendarai unta. Diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit : “Aku adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Aku lihat Rasulullah ketika turunnya wahyu itu seakan-akan dilarang oleh demam yang keras dan keringatnya bercucuran seperti permata. Kemudian setelah selesai turunnya wahyu, barulah beliau kembali seperti biasa.
d.        Malaikat menampakkan dirinya kepada nabi, tidak berupa seorang laki-laki seperti keadaan n.2, tetapi seperti rupanya yang asli. Hal ini tersebt dalam Al-Qur’an surah (53) An-Najm ayat 13 dan 14.  
وَلَقَدۡ رَءَاهُ نَزۡلَةً أُخۡرَىٰ ١٣  عِندَ سِدۡرَةِ ٱلۡمُنتَهَىٰ ١٤
Artinya : 13. Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain
14. (yaitu) di Sidratil Muntaha.

2.         Hikmah Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur
Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur dalam 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Makah dan 10 tahun di Madinah. Hikmah Al Qur’an di turunkan secara berangsur-angsur itu ialah :
a.         Agar lebih mudah dimengerti dan dilaksanakan. Orang akan enggan melaksanakan suruhan, dan larangan sekiranya suruhan dan dilarangan itu turunkan sekaligus. Hal ini disebutkan oleh Bukhari dari riwayat ‘Aisyah r.ha.
b.        Di antara ayat-ayat itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh, sesuai dengan kemaslahatan. Ini tidak dapat melakukan sekiranya Al-Qur’an diturunkan sekaligus. (ini menurut pendapat yang mengatakan adanya nasikh dan mansukh).[2]
c.         Turunnya sesuatu ayat sesuai dengan pristiwa-pristiwa yang terjadi akan lebih mengesankan dan lebih berkesan di hati.
d.        Memudahkan penghafalan. Orang-orang musyrik yang telah mennaykan mengapa Al Qur’an tidak diturunkan sekaligus, sebagaimana tersebut dalam Al Qur’an surat (25) Al Furqaan ayat 32, yaitu :
وَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لَوۡلَا نُزِّلَ عَلَيۡهِ ٱلۡقُرۡءَانُ جُمۡلَةٗ وَٰحِدَةٗۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِۦ فُؤَادَكَۖ وَرَتَّلۡنَٰهُ تَرۡتِيلٗا ٣٢
Artinya : “Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar)”.

e.         Diantara ayat-ayat ada yang merupakan jawaban daripada pertanyaan atau penolakan suatu pendapat atau perbuatan, sebagai dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas r.a. Hal ini tidak dapat terlaksana kalau Al Qur’an diturunkan sekaligus.[3]
B.       Al-Qur’an
1.         Pengertian Al-Qur’an
Menurut bahasa, AL-Qur’an berarti bacaan. Adapun definisi Al-Qur’an menurut istilah adalah “Kalam Allah yang merupakan mukjizat yang di turunkan (diwahyukan) melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw yang ditulis dimushaf dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah.
Al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw yang mengandung petunjuk bagi manusia, sekaligus menjadi pedoman hidup bagi mereka yang ingin mencapai kebahagian di dunia dan di akhirat.  Al-Qur’an diturunkan tidak hanya untuk suatu umat atau suatu abad, akan tetapi untuk seluruh umat dan berlaku sepanjang masa. [4]
2.         Kedudukan dan Fungsi Al-Qur’an 
Al-Qur’an menjadi sumber seluruh ajaran islam sebagai wahyu Allah swt. Ia menjadi rahmat, hidyah, dan syfaat bagi seluruh manusia. Ajaran al-qur’an selalu sesuai dengan kkepentingan dan kebutuhan manusia dalam kencah kehidupan dan cocok dengan fitrah manusia. Setelah prinsip tauhid (ke-Esa-an Allah), maka prinsip ajaran al-qur’an berikutnya adalah “amar ma’ruf nahi mungkar” yaitu perintah menegaskan kebaikan keadilan serta mencegah segala yang berbahaya, keji, dan mungkar.
Sebagai pedoman hidup bagi manusia, Allah Menjamin kemurnian Al-Qur’an. Firman Allah swt :
 إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ ٩
Artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (QS. Al-Hijr : 9)
 Kuat atau lemah, maju atau mundur umat islam tergantung pada sikap umat islam itu sendiri terhadap Al-Qur’an. Al-qur’an tidak hanya berfungsi untuk dibaca dengan lagu-lagu merdu, bukan pula berfungsi hanya untuk Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), tetapi ia harus difungsikan dalam kehidupan masyarakat. Ia harus disosialisasikan di dalam kehidupan sehari-hari.
Al-qur’an adalah “ruh” yang memberikan kehidupan hakiki bagi mereka yang berpedoman kepadanya. Ia adalah sebagai “syifa” yaitu obat segala penyakit rohani yang diderita oleh manusia. Ia adalah “Nur” yang memberi cahaya petunjuk bagi mereka yang berkelana, meraba-raba dalam kegelapan. Ia adalah “Al-Huda”, petunjuk ke jalan yang lurus ke hadirat Tuhannya. Ia juga adalah “Ar-Rahman”, nikmat bagi mereka yang sedang berjuang mencari kebahagian.
Sebagai sumber hukum islam, al-qur’an menduduki tempat yang paling atas, karena cara penyampaiannya dilakukan secara mutawir (langsung dari Allah). Oleh karena itu, secara pasti Al-qur’an dapat dijadikan sebagai hujjah (dasar pengambilan hukum) bagi umat manusia. Hukum-hukum yang ada di dalam al-qur’an dapat dijadikan sebagai pedoman yang nyata bagi umat manusia.[5]

C.      Hadis
1.         Pengertian Hadis
Hadis atau sunah rasul ditinjau dari segi bahasa adalah “jalan yang biasa dilalui” atau “cara yang senantiasa dilakukan, tanpa mempermasalahkan, apakah cara tersebut baik atau buruk”.
Arti tersebut bisa ditemukan dalam sabda Rasulullah saw, yang berbunyi :
Artinya : “Barangsiapa yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya”. (HR. Muslim)

Secara terminologis, Hadis atau Sunah yaitu segala sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan.
Sebagai sumber hukum islam, hadis menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an. Dalam hal ini telah ditetapkan dalam firman Allah swt :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمٗا ٦٥
Arttinya : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. An-Nisa : 65)

Juga firman Allah swt :
وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ
Artinya : “ . . . Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”.
(QS. Al-Hasyr : 7). [6]

Dalam ayat lain Allah swt berfirman :
 وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ ١٣٢
Artinya : “Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmati”. (QS. Ali Imran : 132)

As-Sunnah ialah segala sesuatu yang datangdari Nabi saw selain Al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan, meupun ketetapannya yang berkenaan dengan hukum syara’.[7]
Karena itu, segala Hadis yang diakui sahih dan tidak berlawanan dengan al-qur’an, samalah kedudukannya dengan al-qur’an sendiri, dalam arti sama-sama wajib diikuti oleh semua umat manusia. Sekalipun diucapkan di tengah-tengah masyarakat arab, namun Nabi Muhammad saw diutus oleh Allah swt untuk menjadi rahmat bagi alam (bagi segala masyarakat), tidak memandang suku, bangsa, dan ras manusia.
Firman Allah swt :
وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةٗ لِّلۡعَٰلَمِينَ ١٠٧
Artinya : “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya : 107)

Dengan mendasarkan pada pengertian sunnah secara leksikal sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Duraid dalam al-Jambarat  yang diartikan dengan “sawwara” (mencipta), dan disampaikan leh penulis Lisan al-arab yang mengartika dengan “al-syirat” (perilaku kehidupan), rahman menyimpulkan bahwa pada dasarnya sunnah berarti “tingkahlaku yang merupakan teladan”dan bahwa kepatuhan terhadap sunnah tersebut bukanlah bagian integral dari sunnah walaupun untuk menyempurnakannya sunnah tersebut perlu dipatuhi. [8]

2.         Fungsi Hadis
Secara ringkas, hadis berfungsi sebagai berikut :
1.      Memperkuat hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an
2.      Memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum.
3.      Menetapkan hukum yang tidak didapatkan di dalam Al-Qur’an. [9]
Contohnya :  seperti pengharaman melakukan poligami bagi seorang pria terhadap dua orang wanita yang terkait persaudaraan antara tante dan keponakannya
Dalil pendukung :
Dari Abu Hurairah r.a : dia berkata Rasulullah saw bersabda, Sekali-kali tidak boleh dikumpulkan antara seorang wanita dengan tantenya sendiri, baik daris garis ayah maupu ibu”. (HR. Bukhari & Muslim)[10]

3.         Pembagian Hadis
Ditinjau dari sumbernya, Hadis dibagi menjadi Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad. Hadis mutawatir terdiri dari mutawatir lafzi dan mutawatir ma’nawi, sedangkan hadis ahad terdiri dari sahih, hasan, dan dho’if.
Hadis mutawir ialah hadis yang sumbernya banyak, sehingga menurut adat kebiasaan keilmuan hadis, mustahil mereka sepakat untk berdusta. Sedangkan hadis ahad ialah hadir yang sumbernya tidak banyak, sehingga bisa memungkinkan mereka berdusta.
Berdasarkan kualitasnya, hadis mutawatir, baik mutawatir lafzi ataupun mutawatir ma’nawi, dapat dijadikan sebagai sumber hukum islam secara mutlak, sedangkan kehujjahan hadis ahad diperselisihkan para ulama. Sebagian menerima sebagai sumber hukum, sebagian yang lain tidak menerima hadis ahad sebagai sumber hukum islam.
Adapun klasifikasi hadis secara definisinya :
-            Hadis Mutawatir ialah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi pada setiap thabaqatnya, yang tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta.
-            Hadis Masyhur ialah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi, yang pada thabaqat sahabat tidak mencapai jumlah minimal mutawatir, kendati pada thabaqat tabi’in dan seterusnya mutawatir.
-            Hadis Ahad ialah hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang perawi pada setiap thabaqatnya.[11]
Ada sebagian lagi ulama’ yang berpendapat bahwa sumber hukum islam itu tidak hanya Al-Qur’an dan As-Sunnah melainkan ditambah dengan Ijma’ dan Qiyas. Akan tetapi, ada juga yang memasukkan Ijma’ dan Qiyas sebagai metode Ijtihad.

D.      Ijtihad
Ijtihad merupakan dinamika ajaran islam yang keberadaannya harus dipertahankan untuk menciptakan kehidupan yang kreatif. Hal ini disebabkan Al-Qur’an hanya memuat permaslahan-permasalahan secara garis besar. Ijtihad diartikan sebagai segala usaha yang dilakukan oleh mujtahid dalam berbagai bidang ilmu, termasuk bidang teologi, filsafat, dan tasawuf.
Ijtihad adalah dasar hukum islam yang ketiga, setelah Al-Qur’an  dan Hadis (As-Sunnah).
-            Menurut bahasa, “Ijtihad” berasal dari kata Ijtihada, yang berarti “mencurahkan tenaga, memeras pikiran, berusaha sungguh-sungguh, dan bekerja semaksimal mungkin”.
-            Menurut istilah, Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al-Qur’an maupun Hadis. [12]
Islam memberikan penghargaan tinggi terhadap pemikiran. Jika Al-Qur’an dan Hadis sebagai dua sumber hukum islam, maka Ijtihad berfungsi sebagai alat penggeraknya. Tanpa daya ijtihad, kedua sumber itu menjadi lumpuh. Karena itu Ijtihad menjadi sumber hukum ketiga dalam islam. Hasi Ijtihad merupakan pelengkap risalah islam yang abadi. Ia menjadi bukti bagi manusia bahwa islam selalu meberikan pintu terbuka bagi mereka yang selalu mencari. Bukan saja diperkenankan, bahkan Ijtihad itu diperintahkan.
Firman Allah swt :    
لِكُلّٖ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةٗ وَمِنۡهَاجٗاۚ
Artinya : “Untuk tiap orang dari kamu, kami telah ciptakan satu syari’ah dan satu  jalan terbuka”. (QS. Al-Maidah: 48)
Dalam sebuah Hadis, terjadi dialog yang menarik sekali antara Nabi dengan seorang sahabatnya bernama Mu’az Bin Jabal. Dialog ini terjadi ketika Nabi mengankat dia sebagai utusannya di Yaman.
Artinya : “Dari Mu’az Bin Jabal. Bahwa Rasulullah saw mengutus untuk menjadi qadi di Yaman, Berkatalah Nabi : “Bagaimana engkau memutuskan perkara yang dibawa orang padamu? Mu’az : “Hamba akan memutuskan menurut Kitabullah (Al-Qur’an)”. Nabi : “dan jika di dalam Kitabullah engkau tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu.” Mu’az : “Jika begitu, hamba akan memutuskan menurut Sunnah Rasulullah.” Nabi : “Dan jika kamu tidak menemukan mengenai hal itu di dalam Sunnah Rasulullah?” Mu’az : “Hamba akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ajtahidu di ra’yi)tanpa bimbang sedikitpun. “ Nabi : “Alhamdulillah, segala puji Allah yang telah menyebabkan utusan Rasul-Nya menyenangkan hati Rasulullah.”(H.R. Darimi)[13]
1.         Syarat Berijtihad
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam berijtihad :
a.         Seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) harus memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan bahasa arab, tafsir, ilmu Hadis, sejarah, dan ilmu ushul fiqih.
b.        Ia harus mengenal  cara melakukan qiyas (menetapkan hukum pengetahuan dengan berpatokan pada suatu hukum yang telah ada) d an Ijma’ (kesepakatan ulama’ mengenai sesuatu).
Ijtihad adalah kemampuan logika muslim dalam menggali kebenaran yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Hasil dan buah dari Ijtihad itu tentu ada perbedaan menurut ruang dan waktu setta menurut intelektual mujtahid. Hasil dari suatu Ijtihad pada masa lalu atau hasil dari ijtihad dari daerah lain dapat pula menjadi dapat pula menjadi objek Ijtihad lagi bagi seseorang mujtahid, dan demikian seterusnya. Ijtihad diijtihadkan lagi.
Sebagaimana hasil pemikiran logika pada umumnya, dapat benar atau salah, maka demikian pula hasil ijtihad. Suatu Ijtihad yang salah tidak dianggap dosa, malah diberi pahala satu, sebagai penghargaan islam terhadap usaha pengabdian dan penggunaan rasio sebagaimana diamanatkan Allah swt. Sebaliknya, bila suatu ijtihad benar, maka Allah swt akan memberinya dua pahala.
Sabda Rasulullah saw :
Artinya : “Apabila seorang hakim memutuskan masalah dengan jalan Ijtihad kemudian benar, maka ia mendapat dua pahala. Dan apabila dia memutuskan dengan jalan Ijtihad kemudian keliru, maka ia hanya mendapat satu pahala. (HR. Bukhari & Muslim)[14]

2.         Metode Ijtihad
Metode Ijtihad dapat dilakukan dengan bebagai cara, yaitu sebagai berikut :
a.         Ijma’ (Kesepakatan ulama’)
b.        Qiyas (menetapkan hukum sesuatu yang belum ada hukumnya dengan mengacu pada hukumnya, berdasarkan persamaan yang ada anatar hal tersebut).
c.         Istihsan (menetapkan hukum dengan berorientasi pada kebaikan).
d.         Maslahah Al-Murslah (menetapkan hukum dengan berorientasi pada kemaslahatan umat).
e.         Istishab (menetapkan hukum atas dasar hukum asal, karena tidak adanya hukum qath’i (hukum yang pasti) yang mengubah hukum  asal tersebut).
f.         ‘Urf (menetapkan hukum sesuatu dengan berorientasi pada adat-istiadat)
g.        Syadzu Dzari’ah (menetapkan hukum sesuatu dengan berorientasi pada mencegah bahaya yang mungkin muncul).
h.        Mazhab Sahaby (menetapkan hukum sesuatu dengan berorientasi pada kebiasaan para sahabat).

BAB III
TELAAH MATERI

Analisi/Talaah Substansi (Isi)
Di dalam bagian BAB III ini penulis mentalaah, menganalisis, serta menguraikan beberapa sub-sub bagian sumber hukum islam, yang sebelumnya sudah dipaparkan di dalam bagian BAB II, namun dalam paparannya masih belum mendalam. Nah, disini pada bagian BAB III ini kami mencoba menguraikan talaah dan analisisnya. Karena di dalam buku paket kelas X tidak  ditemukan kriteria seorang mujtahid. Nah, disini kami mencoba menelaah dan menganalisis apa itu kriteria atau syarat menjadi seorang mujtahid :
Seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) harus memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan :
1.         Seorang mujtahid harus mengetahui dan memahami makna ayat-ayat hukum, baik makna semantik, maupun konotasi hukumnya. Dan dalam hal ini seorang mujtahid tidak di tuntut untuk hapal seluruh ayat ahkam tersebut, sehingga dapat mencarinya secara cepat pada saat perlu.[15]
2.         Seorang mujtahd harus mengetahui dan memahami makna hadishadis hukum, namun setidaknya harus tahu tempat-tempatnya, dan dapat mencarinya secara cepat di saat ia perlu.
3.         Seorang mujtahid harus mengetahui ayat-ayat yang mansukh dan yang menasakhnya, sehingga dia tidak berpegang pada dalil yang secara hukum sudah terpakai lagi.
4.         Seorang mujtahid juga harus mengetahui ketentuan-ketentuan hukum telah ditetapkan lewat Ijma’ sehingga ia tidak melahirkan fatwa yang berbeda dengan hasil-hasil Ijma’ tersebut.
5.         Mengetahui dan menguasai metodologi qiyas dangan baik. Dia mampu melakukan identifikasi furu’ dengan baik, lalu memproyeksikan “ashal”nya telah ditetapkan oleh Nash, untuk dikaji kesamaan-kesamaan ilatnya dengan furu’. Kalau keduanya mempunyai kesamaan ilat, maka hukum furu’ sama dengan hukum ashal.
6.         Seorang mujtahid  juga harus memahami bahasa rab dengan baik. Dia harus menguasai gramatika, bentuk-bentuk kalimatnya, segi-segi kesatraannya, am dan khas, serta mutlak dan muqayatnya karena al-Qur’an itu berbahasa arab. Oleh karena itu segala sesuatu yang berkaitan dengan kesastraan bahasa arab harus dikuasai oleh seorang mujtahid.  
7.         Kemudian seorang mujtahid juga harus menguasai kaidah-kaidah ushul fiqh dengan baik, dan bahkan ia juga harus menguasai dasar-dasar pemikiran yang mendasari rumusan-rumusan kaidah tersebut, sehingga bilamana perlu ia menciptakan kaidah sendiri.
8.         Dan terakhir, seorang mujtahid harus memahami maqasid al-syari’ah, karena maqasid al-syari’ah itu  merupakan tujuan akhir yang hendak dicapai lewat pelaksanaan hukum islam.
Kriteria ideal ini merupakan rumusan yang diangkat sesuai dengan beban ijtihad yang cukup berat itu. Oleh karenanya, Wahbah al-Zuhaily sendiri menyatakan bahwa kriteria-kriteria di atas adalah kriteria untuk seorang mujtahid mutlaq. Dan bukan mujtahid pada umumnya. Namun setidaknya mujtahid-mujtahid yang bukan mujtahid mutlak, juga harus mempunyai kualifikasi kemampuan yang mengacu pada kriteria di atas.







BAB IV
PENUTUPAN

A.      Kesimpulan
Sumber hukum islam secara keseluruhan itu ada tiga, ialah Al-Qur’an, Hadis (As-Sunnah), dan Ijtihad (hasil pemikiran hukum yang ditetapkan) karena tidak ditemui di dalam Al-Qur’an dan Hadis.
  Al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw yang mengandung petunjuk bagi manusia, sekaligus menjadi pedoman hidup bagi mereka yang ingin mencapai kebahagian di dunia dan di akhirat.
As-Sunnah ialah segala sesuatu yang datangdari Nabi saw selain Al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan, meupun ketetapannya yang berkenaan dengan hukum syara’.
Ijtihad merupakan dinamika ajaran islam yang keberadaannya harus dipertahankan untuk menciptakan kehidupan yang kreatif.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ٥٩
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah  ia kepada Allah swt ( AL-Qur’an) dan  Rasul (sunah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian....”. ( QS. An-Nisa: 59)
B.       Saran
Dengan selesainya makalah ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang ikut andil dalam penulisan makalah ini. Tak lupa kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik yang membangun selalu kami tunggu dan kami perhatikan.
DAFTAR PUSTAKA


Thoifuri & Rahayu, Suci.  20017. Pendidikan Agama Islam untuk SMA-Kelas X, Jakarta : Geneca Exact.
Rosyada, Dede. 1999. Hukum Islam & Pranata Sosial, Jakarta : PT Raja Grafindao Persada.
A. Mas’adi, Ghufron. 1997.  Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Khaeruman, Badri. 2010. Hukum Islam dalam Perubahan Sosisal, Bandung : CV. Pustaka Setia.
Departemen Agama RI. 1994. Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta:, CV. Adi Grafika Semarang.




[1] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: 1994, CV. Adi Grafika Semarang. Hlm. 17.
[2] Ibid, Hlm. 18
[3] Ibid,
[4]Thoifuri & Suci Rahayu, Pendidikan Agama Islam untuk SMA-Kelas X, Jakarta : 2007, Geneca Exact. Hlm. 55 
[5] Ibid, Hlm. 55-56
[6] Ibid, Hlm. 56
[7] Dede Rosyada, Hukum Islam & Pranata Sosial, Jakarta : 1999, PT Raja Grafindao Persada. Hlm. 34
[8] Ibid, Hlm. 57
[9] Ghufron A. Mas’adi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta : 1997, PT Raja Grafindo Persada. Hlm. 126-127
[10] Dede Rosyada, Hukum Islam & Pranata Sosial, Jakarta : 1999, PT Raja Grafindao Persada. Hlm. 39-40
[11] Ibid, Hlm. 36-37
[12] Badri Khaeruman, Hukum Islam dalam Perubahan Sosisal, Bandung : 2010, CV Pustaka Setia. Hlm. 79
[13] Ibid, Hlm. 59
[14] Ibid, Hlm. 60
[15] Dede Rosyada, Hukum Islam & Pranata Sosial, Jakarta : 1999, PT Raja Grafindao Persada. Hlm. 115-116

Tidak ada komentar:

Posting Komentar